Jumat, 09 Desember 2011

III. Sejarah Pembukuan Al-
Qur’an
i. Masa Rasulullah
Pada masa Rasulullah ayat Al-
Qur’an yang turun dihafal oleh
beliau “Sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (didadamu)
dan (membuatmu pandai)
membacanya” (QS Al-Qiyamah
[75] : 17-18). Oleh karena itu
beliau merupakan hafidz
(penghafal) Al-Qur’an yang
pertama dan maha guru
pemberi contoh panutan paling
baik bagi para sahabat dalam
menghafalnya. Dalam sahih
Bukhary dalam tiga riwayat
disebutkan ada tujuh hafidz dari
kalangan sahabat yang hafal Al-
Qur’an, yaitu :
1. Abdullah bin Mas’ud
2. Salim Bin Ma’qal maula Abu
Huzaifah.
3. Mu’az Bin Jabal.
4. Ubay Bin Ka’ab.
5. Zaid Bin Tsabit.
6. Abu Zaid Bin Sakan.
7. Abu Darda’.
Ke-tujuh penghafal Al-Qur’an
diatas adalah para sahabat yang
hafal Al-Qur’an diluar kepala
yang menunjukkan hafalannya
dihadapan Nabi dan sanadnya
sampai kepada kita melalui
riwayat Bukhary. Sedangkan
kenyataannya setelah Rasulullah
wafat, jumlah penghafal
(hafidz) Al-Qur’an dikalangan
sahabat terus bertambah. Untuk
melukiskan hal itu dapat
diketahui dari keterangan Al-
Qurtubi : “Telah terbunuh tujuh
puluh orang qari’ pada perang
Yamamah; dan terbunuh pula
pada masa Nabi sejumlah itu
dalam peristiwa pembunuhan di
sumur Maa’unah”.
Rasulullah telah mengangkat
beberapa penulis Al-Qur’an dari
sahabat-sahabat terkemuka,
seperti : Ali Bin Abi Thalib,
Mu’awiyah Bin Abi Sufyan, Ubay
Bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit.
Bila ayat Al-Qur’an turun beliau
memerintahkan mereka
menuliskannya dan
menunjukkan tempat ayat
tersebut didalam surat,
sehingga penulisan pada
lembaran itu membantu
penghafalan didalam hati (diluar
kepala). Disamping itu sebagian
sahabat menuliskan ayat Al-
Qur’an yang turun itu dengan
kemauan sendiri tanpa
diperintah oleh Nabi. Mereka
menuliskan ayat Al-Qur’an pada
pelepah kurma, lempengan batu,
daun lontar, kulit binatang atau
kulit kayu, pelana, potongan
tulang belulang binatang. Dalam
Al Mustadrak, Hakim
meriwayatkan bahwa Zaid Bin
Tsabit berkata : “kami
menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an
pada kulit binatang” (sanad
sahih menurut syarat Bukhary
dan Muslim).
Pada masa Rasulullah Al-Qur’an
belum dikumpulkan dalam satu
mushaf, karena pada masa
kenabian wahyu masih turun
dan Rasulullah masih selalu
menanti turunnya ayat Al-
Qur’an, disamping itu terkadang
pula terdapat ayat yang nasikh
(dihapus). Susunan atau tertib
penulisan Al-Qur’an itu tidak
menurut tertib nuzulnya, tetapi
setiap ayat turun dituliskan
ditempat penulisan sesuai
dengan petunjuk Nabi, yaitu
beliau menjelaskan bahwa ayat
anu harus diletakkan dalam
surah anu. Al-Khattabi berkata :
“Rasulullah tidak mengumpulkan
Al-Qur’an dalam satu mushaf
karena beliau senantiasa
menunggu ayat nasikh terhadap
sebagian hukum-hukum atau
bacaannya”.
ii. Masa Khalifah Abu Bakar
Shidiq ra.
Setelah Rasulullah wafat, Abu
Bakar terpilih sebagai khalifah.
Saat itu hampir seluruh kabilah-
kabilah Arab kembali murtad
dan sebagian membangkang
menolak membayar zakat,
karena mereka mengira
kekuatan Islam sudah pudar
setelah meninggalnya
Rasulullah. Untuk mengatasi
kemurtadan dan
pembangkangan khabilah-
khabilah Arab itu Khalifah Abu
Bakar mengirimkan pasukan
untuk menundukkan mereka
dan menyeru kembali kepada
Islam yang dikenal sebagai
“perang ridah”.
Disamping itu di daerah
Yamamah –Arab Selatan- muncul
Musailamah Al-Khazab –sang
pendusta- yang mengaku
sebagai nabi. Khalifah Abu Bakar
memeranginya yang dikenal
sebagai “perang Yamamah”.
Pada berbagai peperangan-
peperangan tersebut banyak
qari dan pengahafal Al-Qur’an
dari kalangan sahabat nabi yang
gugur. Umar Bin Khattab yang
merupakan penasehat utama
Khalifah Abu Bakar merasa
khawatir Al-Qur’an akan punah
bersama banyaknya qari yang
gugur tersebut. Umar Bin
Khattab mengusulkan agar Al-
Qur’an dikumpulkan dalam satu
mushaf.
Mula-mula Khalifah Abu Bakar
menolak usulan itu dengan
alasan hal itu tidak dilakukan
oleh Rasulullah dan hal itu tidak
diperintahkan oleh Rasulullah.
Tetapi Umar terus membujuk
Khalifah Abu Bakar tentang
perlunya pembukuan Al-Qur’an
dalam satu mushaf, sehingga
Allah membukakan hati Abu
Bakar untuk menerima usulan
umar tersebut. Khalifah Abu
Bakar kemudian memanggil Zaid
Bin Tsabit dan
memerintahkannya untuk
mengumpulkan Al-Qur’an dalam
satu mushaf.
Zaid Bin Tsabit berkata :
“Mengapa anda berdua ingin
melakukan sesuatu yang tidak
pernah dilakukan oleh
Rasulullah ?” Abu Bakar
menjawab : “Demi Allah, itu
baik”, Abu Bakar terus
membujukku sehingga Allah
membukakan hatiku”.
Maka Zaid Bin Tsabit mulai
bekerja mengumpulkan tulisan
manuskrip Al-Qur’an dengan
sangat teliti dan hati-hati. Zaid
Bin Tsabit meneliti hafalan
pemilik catatan Al-Qur’an dan
mensyaratkan harus ada 2
orang saksi yang menyaksikan
bahwa tulisan manuskrip Al-
Qur’an itu ditulis dihadapan
Rasulullah, padahal Zaid Bin
Tsabit sendiri sudah hafal
seluruh Al-Qur’an diluar kepala.
Dengan kerja keras, teliti dan
hati-hati akhirnya seluruh Al-
Qur’an berhasil dikumpulkan
dalam satu mushaf dengan
“tujuh huruf”.
Setelah Abu Bakar wafat,
Mushaf tersebut disimpan oleh
Khalifah penggantinya yaitu
Umar Bin Khattab. Setelah
Khalifah Umar meninggal,
Mushaf tersebut disimpan oleh
Hafsah Binti Umar.
C. Masa Khalifah Usman Bin
Affan ra.
Pada masa pemerintahan
Khalifah Abu Bakar dan Umar
kaum muslimin telah melakukan
penaklukan ke negeri-negeri
diluar jazirah Arab seperti, Syam,
Iraq, Persia dan Mesir. Pada masa
Khalifah Usman penaklukan
masih terus berlangsung.
Ketika terjadi perang
penaklukan Armenia dan
Azerbaijan, diantara mujahidin
yang ikut menyerbu itu adalah
sahabat nabi Huzaifah Bin Al-
Yaman. Beliau melihat banyak
perbedaan diantara pasukan
kaum muslimin dalam cara-cara
membaca Al-Qur’an. Sebagian
bacaan itu bercampur dengan
kesalahan, tetapi masing-masing
mempertahankan dan
bersikukuh berpegang pada
bacaannya masing-masing dan
bahkan sempat saling berselisih
dan saling mengkafirkan.
Riwayat dari Anas, Huzaifah
berkata kepada Usman :
“Selamatkanlah umat ini
sebelum mereka terlibat dalam
perselisihan (masalah kitab suci)
sebagaimana perselisihan
orang-orang Yahudi dan
Nasrani”.
Atsar dari Abu Qalabah berkata :
“Pada masa kekhalifahan Usman
telah terjadi seorang guru qiraat
mengajarkan qiraat kepada
seseorang dan guru yang lain
juga mengajarkan qiraat yang
berbeda kepada anak yang lain.
Dua kelompok anak-anak yang
belajar qiraat ini pada suatu
ketika bertemu dan berselisih
dan hal itu menjalar juga sampai
kepada guru-guru mereka”. Hal
itu akhirnya sampai terdengar
kepada Khalifah Usman, maka ia
berpidato : “Kalian yang ada
dihadapanku teah berselisih
paham dan salah dalam
membaca Al-Qur’an. Penduduk
yang jauh dari kami tentu lebih
besar lagi perselisihan dan
kesalahannya. Bersatulah wahai
sahabat-sahabat Muhammad,
tulislah untuk semua orang satu
imam (mushaf pedoman) saja !”.
Khalifah Usman kemudian
meminjam mushaf yang ada
pada Hafsah binti Umar dan
memerintahkan Zaid bin Tsabit,
Abdullah Bin Zubair, Sa’id Bin
Ash dan Abdurrahman Bin Haris
untuk menyalinnya. Usman
berkata kepada ketiga orang
Quraisy itu : “Bila kalian
berselisih pendapat dengan Zaid
Bin Tsabit tentang sesuatu dari
Al-Qur’an, maka tulislah dengan
logat Quraisy, karena Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa
Quraisy”. Merekapun bekerja
menyalin Mushaf Abu Bakar
menjadi beberapa mushaf.
Setelah mereka selesai
menyalinnya menjadi beberapa
mushaf, Khalifah Usman
mengembalikan mushaf asli
kepada Hafsah. Selanjutnya
Khalifah Usman mengirimkan
kesetiap wilayah, masing-
masing satu mushaf dan
memerintahkan agar semua
manuskrip Al-Qur’an yang
lainnya dibakar.
Ketika penyalinan mushaf telah
selesai, Khalifah Usman menulis
surat kepada semua penduduk
daerah yang isinya : “Aku telah
melakukan yang demikian dan
demikian. Aku telah menghapus
apa yang ada padaku, maka
hapuskanlah apa yang ada
padamu”.
Uraian diatas menunjukkan
bahwa penyalinan mushaf pada
masa Khalifah Usman ditulis
dengan “satu huruf” yaitu
sesuai dengan dialek Quraisy
dan meninggalkan “enam
huruf” yang lainnya, hal itu
untuk keseragaman dan
menghindari perselisihan.
Mushaf Usmani inilah yang
kemudian dinukil turun temurun
secara mutawatir sampai
kepada kita sekarang ini.
Tertib Ayat dan Surah
Tertib susunan ayat Al-Qur’an
menurut jumhur adalah taufiqi
(ketentuan dari Allah) bukan
ijtihadi Rasulullah atau para
penyusun Mushaf Al Qur’an. As
Suyuthi berkata : “Jibril
menurunkan beberapa ayat
kepada Rasulullah dan
menunjukkan kepadanya
tempat dimana ayat-ayat itu
harus diletakkan dalam surah
atau ayat-ayat yang turun
sebelumnya. Lalu Rasulullah
memerintahkan kepada para
penulis wahyu untuk
menuliskannya di tempat
tersebut. Beliau mengatakan
kepada mereka : “Letakkanlah
ayat-ayat ini pada surah yang
didalamnya disebutkan begini
dan begini,” atau “Letakkanlah
ayat ini ditempat anu.”
Mengenai tertib susunan surah,
beberapa sahabat nabi ada yang
mempunyai mushaf pribadi
yang berbeda tertib susunan
surahnya dengan tertib surah
mushaf Usmani. Mushaf Ali
disusun berdasarkan urutan
nuzulnya, Mushaf Ibnu Mas’ud
dimulai dari surah Al-Baqarah
tanpa surah Al-Falaq dan An-
Naas. Mushaf Ubay Bin Ka’ab
dimulai Al-Fatihah, An-Nisa’
kemudian Ali-‘Imran, namun
demikian Mushaf pribadi
sebagian sahabat tersebut tidak
dapat dijadikan pedoman.
Tertib susunan surah yang
disepakati dan umat sudah
Ijma’ (sepakat) adalah tertib
susunan surah mushaf Usman
yang dikerjakan secara resmi
oleh panitia khusus yang terdiri
dari beberapa sahabat nabi
pilihan. Tentang tertib susunan
surah Al-Qur’an, jumhur ulama
mengatakan bahwa tertib
susunannya adalah taufiqi.
Al-Kirmani dalam kitab Al-
Burhan mengatakan : “Tertib
surah seperti yang kita kenal
sekarang ini adalah menurut
Allah pada Lauhful Mahfud, Al-
Qur’an sudah menurut tertib ini.
Dan menurut tertib ini pula Nabi
membacakan dihadapan
Malakikat Jibril setiap tahun di
bulan Ramadhan apa yang telah
dikumpulkannya dari Jibril itu.
Pada tahun ke wafatannya Nabi
membacakannya dihadapan
Jibril dua kali.
As-Suyuthi mengatakan tertib
susunan surah Al-Qur’an itu
taufiqi kecuali surah Al-Anfal
dan At-Taubah, berdasarkan
riwayat Ibnu Abbas : “Aku
bertanya kepada Usman :
‘Apakah yang mendorongmu
mengambil Anfal yang termasuk
katagori masani dan Bara’ah
(At-Taubah) yang termasuk
mi’in untuk kamu gabungkan
keduanya menjadi satu tanpa
kamu tuliskan diantara
keduanya
Bismillahirrahmaanirrahim, dan
kamu pun meletakaannya pada
as-sab’ut tiwal (tujuh surat
panjang) ?’, Usman menjawab :
‘Telah turun kepada Rasulullah
surah-surah yang yang
mempunyai bilangan ayat.
Apabila ada ayat turun
kepadanya, ia panggil beberapa
penulis wahyu dan
mengatakan : ‘Letakkanlah ayat
ini pada surah yang didalamnya
terdapat ayat anu dan anu.’
Surah Anfal termasuk surah
pertama yang turun di Madinah
sedang surah Bara’ah termasuk
yang terakhir diturunkan. Kisah
dalam surah Anfal serupa
dengan kisah dalam surah
Bara’ah, sehingga aku
mengirabahwa surah Bara’ah
adalah bagian dari surah Anfal.
Dan sampai wafatnya Rasulullah
tidak menjelaskan kepada kami
bahwa surah Bara’ah
merupakan bagian dari surah
Anfal. Oleh karena itu, kedua
surah tersebut aku gabungkan
dan diantara keduanya tidak
aku tuliskan
Bismillahirrahmaanirrahim sera
aku meletakkan pula pada as-
sab’ut tiwal.
Surah-surah dan ayat-ayat Al-
Qur’an
1. At-Tiwal : adalah tujuh surat
awal yang panjang-panjang
yaitu : Al-Baqarah, Ali ‘Imran,
An-Nisa’, Al-Maidah, Al-An’am, Al-
A’raf , ketujuh : Al-Anfal dan At-
Taubah sekaligus, sebagian ada
yang mengatakan yang ke-tujuh
surah Yunus.
2. Al-Mi’un : yaitu surah-surah
yang ayat-ayatnya lebih dari
seratur atau sekitar itu.
3. Al-Masani : yaitu surah-surah
yang jumlah ayatnya dibawah
Al-Mi’un. Dinamakan Masani,
karena surah itu diulang-ulang
bacaannya lebih bnayak dari At-
Tiwal dan Al-Mi’un.
4. Al-Mufassal : yaitu surah yang
dimulai dari surah Qaf, ada pula
yang mengatakan dimulai dari
surah Hujarat. Dinamai Mufassal
karena banyaknya pemisahan
fasl (pemisahan) dinatara surah-
surah tersebut dengan
basmallah. Mufassal dibagi
menjadi tiga :
a. Mufassal Tiwal : dimulai dari
surah Qaf atau hujurat sampai
dengan ‘Amma atau Buruj.
b. Mufassal Ausat : dimulai dari
‘Amma atau Buruj sampai
dengan Duha atau Lam Yakun.
c. Mufassal qisar : dimulai dari
Duha atau Lam Yakun sampai
dengan surah terakhir (An-
Naas).
Rasm Usmani
Yang dimaksud dengan rasm
Usmani adalah bentuk tulisan
(khot) Al-Qur’an hasil kerja
beberapa sahabat Nabi pilihan
dalam suatu panitia penyalin
mushaf Al-Qur’an yang diketuai
oleh Zaid Bin Tsabit atas
penunjukan Khalifah Usman.
Mengenai penulisan Al-Qur’an
dengan rasm Usmani ini ada
beberapa pendapat :
1. Rasm (bentuk tulisan) dalam
mushaf Usmani adalah taufiqi
yang wajib dipakai dalam
penulisan Al-Qur’an. Ini
pendapat Ibnul Mubarak dan
gurunya Abdul Azis ad-Dabbag.
2. Rasm Usmani bukan taufiqi,
tapi cara penulisan yang
diterima dan menjadi Ijma’ umat
dan wajib menjadi pegangan
seluruh umat dan tidak boleh
menyalahinya.
3. Rasm Usmani hanyalah istilah
dan tatacara. Tidak ada dalil
agama yang mewajibkan umat
mengikuti satu rasm tertentu
dan tidak ada salahnya jika
menyalahi bila orang telah
mempergunakan rasm tertentu
untuk imla dan rasm itu tersiar
luas diantara mereka. Ini adalah
pendapat Abu Bakar Al-Baqalani.
Jumhur ulama, diantaranya
Imam Malik, Imam Ahmad
melarang penulisan Al-Qur’an
yang menyalahi rasm Usmani.
I’jam (penambahan tanda titik,
dll) Rasm Usmani
Mushaf Usmani tidak memakai
tanda baca titik dan syakal,
karena semata-mata didasarkan
pada watak pembawaan orang-
orang Arab yang masih murni,
sehingga tidak memerlukan
syakal, harokat dan titik. Ketika
Islam sudah menyebar keluar
jazirah Arab dan bahasa Arab
mulai mengalami kerusakan
karena banyaknya percampuran
dengan bahasa non Arab, maka
para penguasa merasa
pentingnya ada perbaikan
penulisan mushaf dengan
syakal, titik, harokat dan lain lain
yang dapat membantu
pembacaan yang benar. Banyak
ulama berpendapat bahwa
orang pertama yang melakukan
hal ini adalah Abul Aswad Ad-
Du’ali, peletak pertama dasar-
dasar kaidah bahasa Arab atas
petunjuk Khalifah Ali Bin Abi
Thalib.
Perbaikan rasm Usmani berjalan
secara bertahap. Pada mulanya
syakal berupa titik : fathah
berupa satu titik diatas awal
huruf, dammah berupa satu titik
diatas akhir huruf dan kasrah
berupa satu titik dibawah awal
huruf. Kemudian terjadi
perubahan penentuan harakat
yang berasal dari huruf dan
itulah yang dilakukan oleh Al-
Khalil. Perubahan itu adalah
fathah adalah dengan tanda
sempang diatas huruf, dammah
dengan wawu kecil diatas huruf
dan tanwin dengan tambahan
tanda serupa (double). Alif yang
dihilangkan dan diganti, pada
tempatnya dituliskan dengan
warna merah. Hamzah yang
dihilangkan dituliskan berupa
hamzah dengan warna merah
tanpa huruf. Pada nun dan
tanwin sebelum huruf ba diberi
tanda iqlab berwarna merah.
Sedang nun dan tanwin sebelum
huruf tekak (halaq) diberi tanda
sukun dengan warna merah.
Nun dan tanwain tidak diberi
tanda apa apa ketika idgam dan
ikkhfa’. Setiap huruf yang harus
dibaca sukun (mati) diberi tanda
sukun dan huruf yang di-idgam-
kan tidak diberi tanda sukun
tetapi huruf sesudahnya diberi
tanda syaddah; keculai huruf ta
sebelum ta, maka sukun tetap
dituliskan.
Para ulama pada mulanya tidak
menyukai usaha perbaikan
tersebut karena khawatir akan
terjadi penambahan dalam Al-
Qur’an, berdasarkan ucapan
Ibnu Mas’ud : “Bersihkan Al-
Qur’an dan jangan
dicampuradukkan dengan
apapun”. Al-Halimi mengatakan :
“Makruh menuliskan perpuluhan,
perlimaan, nama-nama surah
dan bilangan ayat dalam
mushaf” sedangkan pemberian
titik diperbolehkan karena titik
tidak mempunyai bentuk yang
mengacaukan antara yang Al-
Qur’an dengan yang bukan Al-
Qur’an. Titik merupakan
petunjuk atas keadaan sebuah
huruf yang dibaca sehingga
dibolehkan untuk
mempermudah pembacaan.
Kemudian akhirnya itu sampai
kepada hukum boleh dan
bahkan anjuran. Al Hasan dan
Ibnu Sirin keduanya
mengatakan : “Tidak ada
salahnya memberikan titik pada
mushaf”. Rabiah Bin Abi
Abdurrahman mengatakan :
“Tidak mengapa memberi syakal
pada mushaf”. An-Nawawi
mengatakan : “Pemberian titik
dan pensyakalan mushaf itu
dianjurkan (mustahab), karena
ia dapat menjaga mushaf daru
kesalahan dan penyimpangan
(pembacaan)”. Penyempurnaan
itu terus berlanjut hingga kini
telah mencapai puncaknya
dalam bentuk tulisan Arab (Al-
Khattul Araby).
Al-Qur’an Dengan Tujuh Huruf
Nash-nash sunah cukup banyak
yang mengemukakan hadis
mengenai turunnya Al-Qur’an
dengan tujuh huruf,
diantaranya :
Dari Ibnu Abbas : “Rasulullah
berkata : ‘Jibril membacakan (Al-
Qur’an) kepadaku dengan satu
huruf. Kemudian berulang kali
aku mendesak dan meminta
agar huruf itu ditambah dan ia
pun menambahnya kepadaku
sampai tujuh huruf’”.
Dari Ubay Bin Ka’ab : “Ketika
Nabi berada di dekat parit Bani
Gafar, ia didatangi Jibril seraya
mengatakan : ‘Allah
memerintahkanmu agar
membacakan Al-Qur’an kepada
umatmu dengan satu huruf.’
Beliau menjawab : ‘Aku
memohon kepada Allah
ampunan dan maghfirallah-Nya,
karena umatku tidak dapat
melaksanakan perintah itu.’
Kemudian Jibril datang lagi
untuk kedua kalinya dan
berkata : ‘Allah
memerintahkanmu agar
membacakan Al-Qur’an kepada
umatmu dengan dua huruf.’
Nabi menjawab : ‘Aku memohon
kepada Allah ampunan dan
maghfirah-Nya, umatku tidak
kuat melaksanakannya.’ Jibril
datang lagi untuk yang ketiga
kalinya, lalu mengatakan : ‘Allah
memerintahkanmu agar
membacakan Al-Qur’an kepada
umatmu dengan tiga huruf.’
Nabi menjawab : ‘Aku memohon
kepada Allah ampunan dan
maghfirah-Nya, umatku tidak
kuat melaksanakannya.’
Kemudian Jibril datang lagi
untuk yang keempat kalinya
seraya berkata : ‘Allah
memerintahkanmu agar
membacakan Al-Qur’an kepada
umatmu dengan tujuh huruf,
dengan huruf mana saja mereka
membaca, mereka benar.’”
Hadis-hadis berkenaan dengan
Al-Qur’an dengan tujuh huruf
sangat banyak. As-Suyuthi
menyebutkan bahwa hadits-
hadits tersebut diriwayatkan
oleh lebih dari dua puluh orang
sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin
Salam menetapkan
kemutawatiran hadis mengenai
Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Perbedaan pendapat tentang
pengertian tujuh huruf,
diantaranya :
1. Tujuh macam bahasa dari
bahasa-bahasa Arab mengenai
satu makna yang sama, yaitu
bahasa suku Quraisy, Huzail,
Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim
dan Yaman. Sebagian
memasukkan Asad, Rabi’ah, Sa’d.
Pendapat ini maksudnya satu
kata boleh dibaca berbeda
menurut dialek masing-masing
kabilah diatas selama maknanya
masih tetap sama.
2. Tujuh macam bahasa dari
bahasa-bahasa Arab dengan
mana Al-Qur’an diturunkan,
yaitu : Quraisy, Huzail, Saqif,
Hawasin, Kinanah, Tamim dan
Yaman. Bedanya dengan yang
pendapat pertama adalah
bahasa Al-Qur’an mencakup dari
tujuh bahasa diatas yang paling
fasih dan berterbaran di seluruh
Al-Qur’an
3. Tujuh wajah, yaitu : amr
(perintah), hanyu (larangan),
wa’d (janji), wa’id (ancaman),
jadal (perdebatan), qasas
(cerita) dan amsal
(perumpamaan)
4. Tujuh macam hal yang
didalamnya terjadi ikhtilaf
(perbedaan), yaitu ikhtilaf
dalam : asma’ (kata benda), i’rab
(harakat akhir kata), tasrif,
taqdim (mendahulukan), ibdal
(penggantian), penambahan-
pengurangan dan lahjah (tebal-
tipis, imalah-tidak imalah, idhar
dan idgam).
5. Qiraat Tujuh.
Pendapat pertama adalah
pendapat yang paling kuat dan
banyak diikuti oleh jumhur
ulama.
Hikmah Al-Qur’an dengan tujuh
huruf :
1. Memudahkan bacaan dan
hafalan bagi bangsa yang ummi,
tidak bisa baca tulis, yang setiap
kabilah mempunyai dialek
masing-masing.
2. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an
bagi naluri atau watak dasar
kebahasaan orang Arab yang
mana seluruh orang Arab pada
khususnya ditantang untuk
membuat satu surah saja yang
seperti Al-Qur’an, ternyata
seluruh orang Arab tidak
mampu membuatnya.
3. Perbedaan bentuk lafaz pada
sebagian huruf dan kata-kata
memberi peluang penyimpulan
hukum yang berbeda. Para
fukaha dalam menyimpulkan
hukumdan ijtihad ber hujjah
dengan qiraat bagi ketujuh
huruf ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar