Kamis, 29 Desember 2011

di clik yach

XIX. Kaidah Dhamir (Kata
Ganti), Tadzkir (penunjuk
laki-laki) dan Ta’nits
(penunjuk perempuan).
Dhamir (kata ganti) berfungsi
untuk menghindari pemborosan
kata-kata, mempersingkat
perkataan, tanpa mengubah
maknanya, contohnya :
“Sungguh, laki-laki dan
perempuan mukmin, laki-laki
dan perempuan yang taat, laki-
laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang
sabar, tabah, laki-laki dan
perempuan yang khusyuk, laki-
laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-
laki dan perempuan yang
memelihara kehormatan, laki-laki
dan perempuan yang banyak
mengingat Allah, bagi mereka
Allah menyediakan ampunan
dan pahala yang besar” (QS 33 :
35)
kata “hum” yaitu “mereka” pada
akhir ayat menggantikan 25
kata yang disebutkan
sebelumnya. Dhamir mempunyai
kata yang digantikan yang
disebut isim zhahir (kata yang
disebutkan dengan jelas) dan
isim marji’ (tempat kembali).
Dhamir terdiri atas tiga macam :
1. Kata ganti orang pertama,
menggunakan dhamir
mutakallim.
2. Kata ganti orang kedua,
menggunakan dhamir
mukhatab.
3. Kata ganti orang ketiga,
menggunakan dhamir ghaib.
Tadzkir (penunjuk laki-laki)
adalah kata-kata yang
menunjukkan jenis gender laki-
laki (mudzakkar) dan ta’nits
(penunjuk perempuan) adalah
kata-kata yang menunjukkan
jenis gender perempuan
(mu’annats). Untuk mendalami
masalah ini silahkan mempelajari
ilmu nahwu (gramatika) Bahasa
Arab.
XX. Kaidah Ta’rif (Isim
Makrifah) dan Tankir (Isim
Nakirah)
Isim Makrifah adalah kata benda
tertentu, mempunyai beberapa
fungsi, antara lain :
1. Ta’rif dengan isim dhamir
(kata ganti) untuk meringkas
kalimat, contoh QS 33 : 35 :
“Sungguh, laki-laki dan
perempuan mukmin, laki-laki
dan perempuan yang taat, laki-
laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang
sabar, tabah, laki-laki dan
perempuan yang khusyuk, laki-
laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-
laki dan perempuan yang
memelihara kehormatan, laki-laki
dan perempuan yang banyak
mengingat Allah, bagi mereka
Allah menyediakan ampunan
dan pahala yang besar”.
2. Ta’rif dengan nama diri
berfungsi untuk beberapa
maksud :
a. Menghadirkan pemilik nama
itu dalam hati pendengar
dengan cara menyebut
namanya yang khas, contoh QS
112 : 1-2 : “Katakanlah, Dia lah
Allah, Yang Maha Esa, Allah Yang
Kekal, Yang Mutlak”
b. Memuliakan atau
mengungkap identitas, contoh
QS 48 : 29 : “Muhammad adalah
utusan Allah, orang-orang yang
bersamanya bersikap keras
terhadap orang-orang kafir,
kasih-sayang antara sesamanya,
akan kau lihat mereka rukuk dan
sujud (dalam shalat), mencari
karunia Allah dan ridhaNya”.
c. Menghinakan atau
meremehkan, contoh QS 111 :
1 : “Binasalah kedua tangan Abu
Lahab, binasalah dia”.
3. Ta’rif dengan isim isyarah
(kata penunjuk), untuk maksud
tertentu
a. Menjelaskan yang ditunjuk itu
dekat, dengan kata penunjuk
“hadza” atau “hadzihi”, contoh
QS 31 : 11
b. Menjelaskan bahwa sesuatu
yang ditunjuk itu jauh, dengan
kata penunjuk : dzalika, tilka,
ula’ika.
c. Menjelaskan keagungan yang
ditunjuk dengan menggunakan
kata penunjuk jauh : dzalika,
contoh QS 2 : 2.
d. Menghinakan dengan kata
penunjuk dekat, contoh QS : 29 :
64.
4. Ta’rif dengan isim maushul
karena beberapa alasan :
a. Karena tidak disukai
penyebutan namanya untuk
menutupi atau merendahkan,
contoh QS 46 : 17
b. Untuk menunjukkan umum,
contoh QS 29: 69.
c. Untuk meringkas kalimat,
contoh QS 33 : 69.
5. Ta’rif dengan alif dan lam,
antara lain berfungsi untuk :
a. Menunjukkan sesuatu yang
sudah diketahui, karena sudah
disebutkan sebelumnya.
b. Menunjukkan sesuatu yang
sudah diketahui oleh pendengar.
c. Menunjukkan hakikat makna
secara keseluruhan.
d. Menunjuk seluruh pengertian
yang tercakup didalamnya.
6. Ta’rif dengan idhafah, antara
lain berfungsi sebagai berikut :
a. Memuliakan, contoh QS 15 :
42.
b. Menunjuk pengertian umum,
contoh QS 35 : 3.
Isim Nakirah adalah kata benda
tak tentu, digunakan untuk
beberapa fungsi, antara lain
sbb :
1. Menunjukkan tunggal, contoh
QS Yasin [28] : 20 : “Dan seorang
laki-laki datang tergesa-gesa
dari ujung kota”. Kata “rajulun”
maksudnya seorang laki-laki.
2. Menunjukkan ragam-macam,
contoh QS Al-Baqarah [2] : 96 :
“Sungguh akan kau dapati
merekalah orang yang paling
serakah ingin hidup”. Yaitu
ragam kehidupan, mencari
tambahan untuk masa depan.
3. Menunjukkan tunggal dan
ragam sekaligus, contoh QS An-
Nur [24] : 45 : “Allah
menciptakan semua yang
melata dari air”. Maksudnya,
setiap macam dari segala macam
binatang itu berasal dari suatu
macam air dan setiap individu
(satu) binatang itu berasal dari
satu nutfah.
4. Mengagungkan atau
memuliakan, contoh QS Al-
Baqarah [2] : 279 : “Jika kamu
lakukan, ketahuilah, suatu
pernyataan perang dari Allah
dan Rasulnya”. Kata “harb”
berarti peperangan yang
dahsyat .
5. Menunjukkan jumlah yang
banyak, contoh QS Asy-
Syu’ara’ [26] : 42 : “Setelah ahli-
ahli sihir datang, mereka berkata
kepada Fir’aun, “Tentu kami
akan mendapat imbalan bila
kami yang menang ?”. Kata
“ajran” ialah pahala yang
banyak.
6. Mengagungkan dan
menunjukkan arti banyak
sekaligus, contoh QS Fatir [35] :
4: “Kalau mereka mendustakan
engkau, Rasul-Rasul sebelummu
pun sudah didustakan dan
kepada Allah segala persoalan
dikembalikan”. Maksudnya,
Rasul-Rasul yang mulia dan
banyak jumlahnya.
7. Untuk merendahkan, contoh
QS Abasa [80] : 18 : “Dari bahan
apakah Ia menciptakan ? Dari
setetes air mani. Ia menciptakan,
lalu membentuknya menurut
ukuran”.
8. Menyatakan jumlah yang
sedikit, contoh QS At-Taubah
[9] : 72 : “Allah menjanjikan
kepada orang yang beriman,
laki-laki dan perempuan (yaitu)
taman-taman surga …. Dan
keridlaan Allah lebih besar. Itulah
kemenangan yang gemilang”.
Artinya ridla Allah yang sedikit
itu lebih besar daripada surga-
surga yang ada, kerena
merupakan pangkal
kebahagiaan.
9. Menunjukkan pengertian
umum jika nakirah tersebut
mengandung unsur nafyi atau
nahyi atau syarth atau istifham,
contoh QS 82 : 19 : “Hari ketika
tak seorang pribadi pun
berkuasa atas pribadi yang lain
dan segala urusan hari itu
hanyalah semata pada Allah”.
Kata nafs dalam ayat tersebut
bersifat umum, siapapun
orangnya sama, tidak dapat
membantu orang lain.

Senin, 26 Desember 2011

KAIDAH MUFRAD (tunggal) - JAMAK (berbilang)

XVIII. Kaidah Mufrad
(tunggal) – Jamak
(berbilang)
Mufrad adalah sebutan untuk
kata benda (isim) yang
menunjukkan satu atau tunggal.
Sedangkan Jamak adalah
sebutan untuk kata benda (isim)
yang berarti lebih dari satu atau
banyak.
Kaidah Mufrad-Jamak dalam Al-
Qur’an :
1. Kata yang selalu disebutkan
dalam bentuk mufrad (tunggal)
misalnya : ardh (bumi), shirath
(jalan), nur (cahaya).
2. Kata-kata yang selalu
disebutkan dalam bentuk jamak,
misalnya : lubb-albab (orang
orang yang memikirkan), kub-
akwab (piala-piala).
3. Kata yang dipergunakan
dalam bentuk mufrad dan jamak
untuk maksud atau konteks
yang berbeda. Kata-kata
tersebut antara lain : Sama’ –
samawat, rih – riyah, sabil –
subul, maghrib –magharib,
masyriq – masyariq.
Kata sama’ dalam bentuk jamak
adalah untuk menyebut
bilangan atau untuk
menunjukkan betapa luasnya.
Dan dalam bentuk mufrad jika
yang dimaksud adalah arah atas,
sebagai lawan bawah.
Kata rih biasanya disebutkan
dalam bentuk mufrad jika
digunakan dalam konteks azab
dan digunakan dalam bentuk
jamak jika digunakan dalam
konteks rahmat.
Kata sabil disebutkan dalam
bentuk mufrad, jika digunakan
dalam konteks kebenaran dan
disebutkan dalam bentuk jamak
jika untuk jalan kesesatan.
Kata masyriq dan maghrib
dimufradkan untuk
menunjukkan arah, di jamak kan
jika menunjukkan dua tempat
terbit dan dua tempat
terbenam, yakni musim dingin
dan musim panas. Dijamakkan
karena keduanya adalah tempat
terbit dan tempat terbenam
setiap hari.

Jumat, 23 Desember 2011

KAIDAH ISIM (kata benda) - FI'IL (kata keqja)

XVII. Kaidah Isim (kata
benda) - Fi’il (kata kerja)
Menurut As Suyuthi, isim
menunjukkan tetapnya keadaan
dan kelangsungannya.
Sedangkan fi’il menunjukkan
timbulnya sesuatu yang baru
dan terjadinya suatu perbuatan.
Masing-masing kata tersebut
mempunyai tempat tersendiri
yang tidak bisa dipertukarkan
satu dengan yang lain untuk
tetap menghadirkan makna
yang sama. Hakikat makna yang
dikandung ayat berbeda,
dengan perkataan kata yang
digunakan.
A. Beberapa contoh ayat yang
menggunakan isim :
1. QS Al-Kahfi [18] : 18 :
“Engkau mengira mereka
bangun, padahal mereka tidur
dan kami bolak-balikkan mereka
ke kanan dan ke kiri; anjing
mereka merentangkan kedua
kaki depannya diambang pintu.
Kalau engkau melihat mereka,
tentu engkau akan berbalik lari
dari mereka dan penuh rasa
takut”.
Ayat tersebut menggambarkan
tentang keadaan anjing ashabul
kahfi ketika tidur didalam gua.
Anjing itu dalam keadaan kaki
terentang selama mereka tidur.
Keadaan demikian diungkapkan
dengan menggunakan isim
(kata benda), tidak dengan fi’il
(kata kerja). Penggunaan isim
tersebut lebih menggambarkan
tetapnya keadaan anjing
sepanjang waktu itu.
2. QS Al Hujurat [49] : 15 :
“Orang-orang yang mukmin
ialah yang beriman kepada Allah
dan RasulNya dan tak pernah
ragu berjuaang di jalan Allah
dengan harta dan nyawa.
Mereka itulah orang-orang yang
tulus hati”.
Iman adalah hakikat yang harus
tetap berlangsung atau ada,
selama keadaan menghendaki,
seperti halnya ketaqwaan,
kesabaran dan sikap syukur.
Penggunaan isim mu’minun
menggambarkan keadaan
pelakunya yang terus
berlangsung dan
berkesinambungan. Ia tidak
terjadi secara temporer. Mukmin
adalah sebutan untuk orang
yang keberadadannya
senantiasa diliputi iman.
B. Beberapa contoh ayat yang
menggunakan fi’il :
1. QS Al-Baqarah [2] : 274 :
“Mereka yang menyumbangkan
harta, siang dan malam, dengan
sembunyi atau terang-terangan,
pahala mereka pada Tuhan.
Mereka tak perlu khawatir dan
tak perlu sedih”.
Kata yunfiqun (meng-infaq-kan)
pada ayat diatas menunjukkan
keberadaannya sebagai
tindakan yang bisa ada dan bisa
juga tidak, sebagai sesuatu yang
temporal. Manakala seseorang
melakukan pekerjaan ituia
berolah pahala dan jika
meninggalkan ia tidak
memperolah pahala.
2. QS Asy-Syu’ara’ [26] : 78-82 :
“Yang menciptakan aku, dan
Dialah Yang membimbingku;
Yang memberi aku makan dan
minum. Dan bila aku sakit, Dialah
Yang menyembuhkan aku; Yang
akan membuatku mati, dan
kemudian menghidupkan aku
(kembali). Dan kuharapkan
mengampuni dosa-dosaku pada
hari perhitungan”.
Isim khalaqa dalam ayat
tersebut menunjukkan telah
terjadi dan selesainya
penciptaan pada waktu yang
lampau, sedang fi’il yahdi dan
lain-lainnya dalam rangkaian
ayat tersebut menunjukkan
terus berlangsungnya
perbuatan itu waktu demi
waktu berangsur-angsur hingga
sekarang.

Kamis, 22 Desember 2011

KAIDAH WUJUH (banyak makna) - NAZHA'R (satu makna)

XVI. Kaidah Wujuh (banyak
makna) – Nazha’ir (satu
makna)
Wujuh adalah satu kata yang
mempunyai banyak makna,
sedangkan nazha’ir adalah kata
yang hanya mempunyai satu
makna yang tetap.
Muqatil bin Sulaiman
meriwayatkan yang
disandarkan kepada Nabi :
“Seseorang tidak akan benar-
benar paham Al-Qur’an sebelum
dia mengetahui makna yang
beragam (wujuh) dari Al-
Qur’an”.
Ibnu ‘Asakir meriwayatkan
sebuah hadits yang berasal dari
Hammad Zaid, dari Ayyub, dari
Abu Qalabah, dari Abu Darda’ :
”Sesungguhnya engkau tidak
akan benar-benar paham Al-
Qur’an sebelum engkau
mengetahui makna-makna Al-
Qur’an dalam berbagai ragam”.
Diantara lafazh-lafazh yang
termasuk dalam kategori wujuh
adalah kata “al-huda”. As-
Suyuthi mengemukakan tujuh
belas arti kata tersebut dalam
berbagai tempat sebagai
berikut :
1. Tsabat, tetap teguh
“Teguhkanlah kami pada jalan
yang lurus” (QS Al-Fatihah
[1] :6).
2. Al-bayan, menjelaskan
“Merekalah yang berada dalam
penjelasan tuhan dan mereka
yang akan berhasil” (QS Al-
Baqarah [2] : 5).
3. Ad-dien, agama
“Katakanlah, ‘Agama yang benar
ialah agama’ “. (QS [3] : 73).
4. Iman
“Dan Allah menambah keimanan
kepada mereka yang telah
dikaruniai iman” (QS [19] : 76).
5. Ad Du’a, seruan
“Dan orang-orang kafir berkata :
“Mengapa tidak diturunkan
kepadanya sebuah ayat dari
Tuhannya ?” Tetapi engkau
adalah seorang pemberi
peringatan, dan pada setiap
golongan ada seorang
penyeru” (QS [13] : 7).
6. Rasul dan kitab
“Kami berfirman : “Turunlah
kamu sekalian dari sini. Maka
apabila datang kepadamu Rasul
dan kitab Aku, siapapun
mengikuti Rasul dan kitab-Ku
tak ada kekhawatiran dan tak
perlu sedih” (QS [2] : 38).
7. Al-Ma’rifah, pengetahuan
“Dan dia memancangkan diatas
bumi gunung-gunung supaya
tidak menggoyangkan kamu
dan sungai-sungai serta lorong-
lorong supaya kamu mendapat
petunjuk. Dan rambu-rambu dan
dengan bintang-bintang mereka
mengetahui” (QS [2] : 159).
8. Nabi Muhammad
“Mereka menyembunyikan
segala keterangan (ayat-ayat)
dan Nabi yang kami turunkan
setelah dijelaskan dalam kitab
kepada manusia, mereka
mendapat laknat Allah dan
laknat mereka yang berhak
melaknat.” (QS [2] : 159).
9. Al-Qur’an
“Itu hanya nama-nama yang
kamu buat-buat sendiri, kamu
dan moyang kamu, Allah tidak
memberi kekuasaan itu. Apa
yang mereka ikuti hanyalah
dugaan dan yang
menyenangkan nafsu sendiri.
Padahal Al-Qur’an dari Tuhan
sudah sampai kepada
mereka.” (QS [53] : 23).
10. Taurat
“Dahulu telah kami berikan
kepada Musa Taurat. Dan kami
wariskan Kitab itu kepada Bani
Israil.” (QS [40] : 53).
11. Al-Istirja’, mohon
perlindungan
“Mereka berkata, bila ditimpa
musibah “Inna lillahi wa ‘inna
ilaihirojiun” Kami milik Allah dan
kepadaNya pasti kami kembali.
Mereka itulah yang mendapat
karunia dan rahmat dari Tuhan
dan mereka itulah yang
memohon perlindungan” (QS Al-
Baqarah [2] : 156-157).
12. Al Hujjah, argumen
“Tidakkah tergambar olehmu
orang yang berdebat dengan
Ibrahim tentang Tuhannya
karena ia telah diberi
kekuasaan ? Ibrahim berkata ,
“Tuhanku Yang menghidupkan
dan Yang mematikan.” Ia
berkata : “Akulah yang
membuat hidup dan membuat
mati.” Ibrahim berkata, “Tapi
Allah Yang menyebabkan
matahari terbit dari Timur.
Terbitkanlah kalau begitu, dari
Barat.” Orang yang ingkar itu
terkejut. Allah tidak memberi
argumen kepada orang-orang
yang zalim.” (QS Al-Baqarah [2] :
156-157).
13. Tauhid
“Mereka berkata, “Jika kami akan
mengikuti ajaran tauhid
bersamamu, tentulah kami akan
diusir dari tanah kami”. (QS
[28] : 57).
14. Sunnah, pedoman perilaku
“Ataukah sudah Kami beri kitab
kepada mereka sebelum itu, lalu
mereka jadikan pegangan ?
Bahkan mereka berkata, “Kami
sudah melihat leluhur kami
sudat menganut suatu agama,
dan kami berpedoman pada
mereka.” (QS [43] : 21-22).
15. Al-ishlah, pembenaran
“Itulah supaya ia tahu bahwa
aku tidak mengkhianatinya
ketika ia tak ada, dan Allah tidak
membenarkan tipu muslihat
para pengkhianat.” (QS [12] : 52)
16. Ilham
“Ia berkata : “Tuhan kami ialah
Yang telah memberikan setiap
suatu (ciptaan) bentuk dan
kodratnya, kemudian
mengilhaminya.” (QS [20] : 50)
17. Taubat
“Dan tetapkanlah untuk kami
kehidupan yang baik, didunia
dan diakhirat. Sungguh kami
bertobat kepadaMu, Ia
berfirman, “Azabku akan
menimpa siapa-siapa yang
Kukehendaki dan rahmatKu
meliputi segala sesuatu. Dan
akan Kutetapkan (rahmatKu)
untuk mereka yang bertaqwa
dan yang mengeluarkan zakat
serta mereka yang beriman
kepada ayat-ayat kami.” (QS [7] :
156)
Kata-kata lain yang termasuk
wujuh adalah su’, shalat,
rahmah, fitnah, ruh, dzikr, din,
du’a.
Sedangkan contoh nazha’ir
adalah kata “al-barru” yang
selalu bermakna darat dan “al-
bahru” yang selalu bermakna
laut. Misalnya dalam ayat :
1. QS Al-An’am [6] : 59
“Dia mengetahui apa yang
didarat dan dilaut.”
2. QS Yunus [10] : 22
“Dialah yang memungkinkan
kamu menjelajahi daratan dan
lautan.”
3. QS Al-Isra’ [17] : 70
“Kami telah memberi
kehormatan kepada anak-anak
Adam; Kami lengkapi mereka
dengan sarana angkutan di
darat dan di laut.”
Fenomena wujuh dalam Al-
Qur’an merupakan fenomena
kewahyuan, dimana seorang
pembaca Al-Qur’an akan
mendapatkan bahwa ayat-
ayatnya menampakkan ‘wajah’
nya dari perpekstif dan latar
belakang ia membacanya,
seperti permukaan berlian yang
memberikan cahaya yang
beragam dari semua sudut
pandang yang berbeda-beda.

Rabu, 21 Desember 2011

KAHDAH AMR (perintah) - NAHI (larangan)

XV. Kaidah Amr (perintah) –
Nahi (larangan)
Amr (perintah)
Amr berarti perintah atau
suruhan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah
kedudukannya, yaitu dari Allah
kepada manusia.
Hukum lafazh amr :
1. Asal dari suatu perintah itu
adalah menunjukkan wajib.
2. Makna wajib bisa berpaling
dari makna wajib ke makna lain,
apabila terdapat petunjuk
(qarinah) yang menghendaki
makna lain tersebut, baik
qarinah tersebut berupa
susunan bahasa atau tuntutan
maknanya secara keseluruhan
maupun karena nash lain yang
menuntut perpalingan makna.
3. Asal dari suatu perintah tidak
menuntut adanya pengulangan,
kecuali bila terdapat dalil yang
menunjukkan kebalikannya.
Misalnya QS Al-Maidah [5] : 6 :
“Dan jika kamu junub, maka
mandilah.” Perintah mandi
berlaku berulang bila
penyebabnya yaitu “junub”
berulang.
Bentuk – bentuk amr :
1. Menggunakan kata kerja
perintah (fi’il amr), seperti pada
QS [4] : 4 :
“Dan berikanlah kepada
perempuan (Dalam perkawinan)
mas kawinnya dengan ikhlas;
tetapi jika dengan senang hati
mereka memberikan sebagian
darinya kepadamu, terimalah
dan nikmatilah pemberiannya
dengan senang hati”.
2. Menggunakan fi’il mudhari’
dengan didahului lamul-amr,
seperti dalam QS [3] : 104 :
“Hendaklah diantara kamu ada
segolongan orang yang
mengajak kepada kebaikan,
menyuruh orang berbuat yang
ma’ruf dan melarang perbuatan
mengkar. Mereka inilah orang
yang beruntung”.
3. Bentuk isim fi’il amr, seperti
pada QS [5] : 105 :
“Hai orang-orang yang beriman,
jagalah dirimu; tiadalah orang
yang sesat itu akan memberi
mudharat kepadamu apabila
kamu telah mendapat petunjuk”.
4. Masdar pengganti fi’il, seperti
pada QS [2] : 83 :
“Dan ingatlah ketika Kami
menerima ikrar dari Bani Israil :
tidak akan menyembah selain
Allah, berbuat baik kepada
orangtua dan kerabat, kepada
anak yatim dan orang miskin
dan berbudi bahasa kepada
semua orang; dirikanlah shalat
dan tunaikan zakat. Tetapi
kemudian kamu berbalik, kecuali
sebagian kecil diantara kamu
dan kamu (masih juga)
menentang”.
5. Kalimat berita yang
mengandung arti perintah atau
permintaan, seperti pada QS [2] :
228 :
“Perempuan-perempuan yang
dicerai harus menunggu tigak
kali quru’ “.
6. Kalimat yang mengandung
kata amar, fardhu, kutiba, ‘ala
yang berarti perintah.
Kategori amr :
1. Amr menunjukkan wajib,
seperti pada QS [4] : 77 :
“Dirikanlah shalat dan
keluarkanlah zakat”.
Ayat tersebut menunjukkan
shalat adalah wajib dan yang
meninggalkannya adalah dosa.
2. Amr menunjukkan sunah,
seperti pada QS [24] : 33 :
“Buatlah perjanjian yang
demikian, jika kamu ketahui
mereka baik”.
Ayat ini menunjukkan perintah
tanpa kewajiban, tetapi baik
sekali bila dikerjakan.
3. Amr tidak menghendaki
pengulangan pelaksanaan,
seperti pada QS [2] : 196 :
“Dan sempurnakanlah ibadah
haji dan umrah karena Allah”.
Ayat ini mengandung
pengertian bahwa mengerjakan
haji dan umrah itu diwajibkan
satu kali saja seumur hidup.
4. Amr menghendaki
pengulangan, seperti pada QS
[5] : 6 :
“Dan bila kamu sedang dalam
keadaan junub maka bersihkan
dengan mandi penuh”.
5. Amr tidak menghendaki
kesegeraan, seperti pada QS [2] :
184 :
“Jika diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan,
maka (berpuasalah) sebanyak
hari yang ditinggalkan pada
hari-hari yang lain”.
6. Amr menghendaki
kesegeraan, seperti pada QS [2] :
148 :
“Masing-masing mempunyai
tujuan, ke sanalah Ia
mengarahkannya; maka
berlombalah kamu dalam
mengejar kebaikan”.
7. Perintah yang datang setelah
larangan bermakna mubah,
seperti pada QS [5] : 2 :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu langgar
lambang-lambang Allah. Tetapi
bila kamu selesai menunaikan
ibadah haji, berburulah”.
B. Nahi (larangan)
Nahi berarti larangan atau
cegahan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah
kedudukannya, yaitu dari Allah
kepada manusia.
Hukum lafazh nahi :
1. Asal dalam larangan adalah
menunjukkan haram.
2. Makna haram bisa berpindah
ke makna lain apabila ada
petunjuk (qarinah) yang
menghendaki peralihan ke
makna lain tersebut, baik
qarinahnya itu berupa tuntutan
makna yang dapat dipahami
dari susunan bahasanya,
maupundari nash lain yang
menunjukkan tuntutan
terhadap perpalingan makna itu.
3. Lafazh nahi menghendaki
larangan secara kekal dan
spontan. Sebab yang dilarang
itu tidak terwujud kecuali
apabila larangan itu bersifat
kekal. Para ahli ushul
menyebutkan : “Menurut
asalnya nahi yang mutlak itu
menuntut kesinambungan
untuk semua masa.”
Bentuk-bentuk Nahi :
1. Fi’il nahi, seperti pada QS [17] :
31-34 :
“Janganlah kamu bunuh anak-
anakmu karena takut
kekurangan… Dan jangalah
kamu mendekati perbuatan
zina; sungguh itu perbuatan keji
dan jalan yang buruk. Dan
janganlah kamu menghilangkan
nyawa yang diharamkan oleh
Allah, kecuali demi kebenaran…
Janganlah kamu dekati harta
anak yatim, kecuali untuk
memperbaikinya, sampai ia
mencapai umur dewasa”.
2. Menggunakan lafazh utruk
(biarkanlah), seperti pada QS
[44] : 24 :
“Dan biarkanlah laut terbelah,
sebab mereka tentara yang
akan ditenggelamkan”.
3. Menggunakan lafazh
da’ (tinggalkanlah), seperti pada
QS [33] : 48 :
“Dan janganlah kau turuti
orang-orang kafir dan kaum
munafik, tinggalkanlah
(janganlah kau hiraukan)
gangguan mereka; tetapi
tawakallah kepada Allah; sebab
cukuplah Allah sebagai
pelindung”.
4. Menggunakah lafazh naha
(dilarang), seperti pada QS [59] :
7 :
“Apa yang diberikan Rasul
kepadamu terimalah, dan apa
yang dilarang tinggalkanlah.
Bertaqwalah kepada Allah; Allah
sangat keras dalam
menjatuhkan hukuman”.
5. Menggunakan lafazh harrama
(diharamkan), seperti pada QS
[7] : 33 :
“Katakanlah, Tuhanku
mengharamkan segala
perbuatan keji, yang terbuka
atau tersembunyi, dosa dan
pelanggaran hak orang tanpa
alasan; mempersekutukan Allah,
padahal Ia tak memberi
kekuasaan untuk itu, dan
berkata tentang Allah yang
tidak kamu ketahui”.
Ragam pemakaian nahi beserta
makna dan tujuannya :
1. Larangan yang menunjukkan
haram, seperti pada QS [17] : 32
“Dan janganlah kamu mendekati
zina”.
2. Larangan yang menunjukkan
makruh, seperti pada HR
Tirmidzi :
“Janganlah kamu shalat
dikandang unta” (HR Tirmidzi).
3. Larangan yang mengandung
perintah melakukan yang
sebaliknya, seperti pada QS
[31] : 13 :
“Ingatlah ketika Luqman berkata
kepada putranya sambil ia
memberi pelajaran, “Hai anakku !
Janganlah menyekutukan Allah;
menyekutukan Allah sungguh
suatu kedzaliman yang besar”.
4. Nahi bermakna doa, seperti
pada QS [2] : 286 :
“Ya Tuhan kami, janganlah
menghukum kami jika kami lupa
atau melakukan kesalahan; Ya
Tuhan kami, janganlah
memikulkan kepada kami suatu
beban berat seperti yang
Engkau bebankan kepada orang
yang sebelum kami; Ya Tuhan
kami, janganlah memikulkan
kepada kami beban yang tak
mampu kami pikul”.
5. Nahi bermakna bimbingan,
seperti pada QS [5] : 101 :
“Hai orang yang beriman!
Janganlah tanyakan sesuatu,
yang bila diterangkan
menyusahkan kamu”.
6. Nahi menegaskan
keputusasaan, seperti pada QS
[66] : 7 :
“Hai orang-orang kafir!
Janganlah kamu berdalih hari
ini! Balasan yang akan kamu
peroleh hanyalah atas apa yang
kamu kerjakan”.
7. Nahi untuk menenteramkan,
seperti pada QS [9] : 40 :
“Jangan sedih, Allah beserta
kita”.

MUHKAM (jelas) - MUTASYABIH (samar)

XIV. Muhkam (jelas) –
Mutasyabih (samar)
Ayat Al-Qur’an yang muhkam
artinya : jelas dan mudah
diketahui maknanya. Sedangkan
ayat Al-Qur’an yang mutasyabih
artinya : samar dan tidak mudah
diketahui maknanya.
Para ulama memberikan contoh
ayat-ayat yang muhkam dengan
ayat-ayat yang nasikh
(menghapus) dan masih berlaku
hukumnya, ayat-ayat tentang
halal-haram, akidah (rukun
iman), tauhid, hudud (hukuman),
kewajiban (ibadah, rukun Islam),
janji (pahala, ampunan, surga)
dan ancaman (dosa, laknat, azab
neraka), itulah pokok-pokok
agama (ushul) karena ayat-
ayatnya muhkam (jelas dan
tidak diperselisihkan) maka
menjadi perkara yang qoth’i
(pasti).
Sedangkan contoh ayat-ayat
yang mutasyabih adalah :
1. Ayat-ayat mansukh (yang
dihapus) dan tidak diberlakukan
hukumnya atau telah dihapus
lafadznya dari mushaf.
2. Ayat-ayat yang mengandung
kata-kata yang sulit dipahami
maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid, dari Anas :
“Khalifah Umar pernah
membaca ayat, “wafakihatan
wa abban … Dan buah-buahan
dan rumput-rumputan” (QS
Abasa [80] : 31), lalu ia berkata :
“Kalau buah-buahan ini kami
telah mengetahui, tetapi apakah
yang dimaksud “al-ab” ?”,
kemudian Umar berkata kepada
dirinya sendiri : “Hai Umar,
sesungguhnya apa yang kamu
lakukan itu benar-benar suatu
perbuatan memaksakan diri”.
Riwayat lain dari Muhammad
bin Sa’d dari Anas : “Umar
berkata kepada dirinya sendiri :
”Ini hal yang dipaksakan, tiada
dosa bagimu bila tidak
mengetahui””.
3. Ayat-ayat tentang Asma’ Allah
dan sifat-sifatNya yang
menyerupai sifat mahkluk,
contoh : Allah Maha Melihat,
Maha Mendengar, Maha
Mengetahui, Maha Berfirman
(Kalam), Maha Hidup, dsb.
4. Ayat-ayat tentang perbuatan
Allah yang menyerupai
perbuatan mahkluk, contoh :
Allah “bersemayam” diatas Arsy,
Allah “turun” ke langit dunia,
Allah “melempar”, dan “datang”
lah Tuhanmu, dsb
5. Ayat-ayat tentang anggota
tubuh Allah, contoh : Segala
sesuatu pasti binasa kecuali
“wajahNya”, “tangan” Allah
diatas tangan mereka, dsb
6. Hakikat sebenarnya tentang
ayat-ayat metafisika (ruh, alam
jin, alam malaikat, alam kubur,
surga-neraka, akhirat).
7. Huruf-huruf hijaiyah pada
awal surat (huruf muqatta’ah).
Menurut Ibnu Abbas, tafsir ayat
Al-Qur’an itu ada empat macam :
1. Tafsir yang dipahami oleh
orang-orang Arab karena
kelaziman bahasanya.
2. Tafsir yang harus diketahui
oleh semua orang yaitu tentang
akidah, ibadat dan halal-haram.
3. Tafsir yang hanya diketahui
oleh ulama yang mendalam
ilmunya.
4. Tafsir yang hanya diketahui
oleh Allah.
Ayat-ayat mutasyabih termasuk
dalam point ke-3 dan ke-4 yaitu
ada yang diketahui tafsirnya
oleh ulama yang mendalam
ilmunya dan ada yang hanya
diketahui tafsirnya oleh Allah
saja. Ayat-ayat mutasyabih ini
hanya sebagian kecil saja dari
seluruh Al-Qur’an, sebagian
besar ayat-ayat Al-Qur’an adalah
muhkam.
Firman Allah dalam QS Ali-Imran
[3] : 7
“Dialah yang telah menurunkan
Al-Qur’an kepadamu,
diantaranya ada ayat-ayat
muhkam yang merupakan induk
(agama) dan lainnya
mutasayabih. Adapun orang-
orang yang dalam harinya
condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti ayat-
ayat yang mutasyabih untuk
menimbulkan fitnah dan
mencari-cari ta’wilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui
ta’wilnya kecuali Allah. Dan
orang yang mendalam ilmunya
berkata : “Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabih,
semuanya itu dari sisi Tuhan
kami”.
Imam Malik pernah ditanya
tentang makna
istiwa’ (bersemayam) nya Allah
diatas ‘Arsy, maka beliau
menjawab : “maksud
istiwa’(bersemayam) telah kita
ketahui, namun mengenai
bagaimana caranya kita tidak
mengetahuinya. Iman
kepadanya adalah wajib dan
menanyakan bagaimana
caranya adalah bid’ah”.
Hikmah adanya ayat
Mutasyabih :
1. Menegaskan kemukjizatan Al-
Qur’an, yaitu dalam balagah dan
bayan.
2. Mendorong umat untuk
menuntut ilmu yang banyak dan
mendalam.
3. Merangsang penggunaan
kemampuan berpikir.
4. Menjadi ujian bagi mukmin,
apakah ada yang cenderung
mengada-ada mencari ta’wilnya
atas dasar hawa nafsu.

Senin, 19 Desember 2011

NASIKH - MANSUKH

XIII. Nasikh – Mansukh
Nasikh adalah penghapusan
lafazh atau hukum suatu nash
syara’, sedangkan mansukh
adalah nash syara’ yang dihapus
lafazh atau hukumya.
Firman Allah dalam QS Al-
Baqarah [2] : 106 :
“Apa saja ayat-ayat yang kami
nasakh, atau kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik
daripadanya, atau kami
datangkan yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu”.
Macam-macam naskh dalam Al-
Qur’an :
1. Naskh lafaz dan hukum.
Riwayat Ismail bin Ahmad dari
Abu Umamah bin Sahl bin Hanif,
bahwa telah ada sekelompok
orang sahabat Nabi yang
memberitahu dia tentang
seorang laki-laki diantara
mereka yang tidak tidur pada
tengah malam. Dia bermaksud
untuk membuka catatan sebuah
surah yang sebelumnya dia
hafal. Ternyata dia tidak
menjumpai tulisan surah itu
kecuali hanya tulisan
“Bismillahirrahmanirrahim”.
Maka pada keesokan harinya dia
datang ke rumah Nabi untuk
menanyakan hal tersebut.
Ternyata ada juga beberapa
orang yang datang kepada Nabi
sehingga mereka berkumpul
menjadi beberapa orang. Mereka
saling menanyakan antara yang
satu dengan yang lain. Mereka
juga saling menceritakan
pengalaman yang dialami
masing-masing tentang tulisan
surat yang tiba-tiba hilang.
Beberapa saat kemudian Nabi
menerima mereka dan
mendengarkan penuturan
mereka. Kemudian Nabi terdiam
sejenak, setelah itu beliau
bersabda : “Tadi malam surat
tersebut telah di nasakh. Maka
hafalan surah itupun dinasakh
dari dada mereka (yang telah
hafal) dan juga dari benda
apapun yang mengabadikan
rasm (tulisan) surah tersebut”.
Riwayat dari Ibnu Mas’ud :
“Telah diturunkan sebuah ayat
Al-Qur’an kepada Rasulullah saw.
sehingga saya mencatatnya
didalam mushafku. Namun pada
suatu malam ternyata
permukaan mushaf itu hanya
berwarna putih (hilang
tulisannya), maka saya
menceritakan hal tersebut
kepada Nabi, ternyata beliau
bersabda : “Tidakkah kamu tahu
bahwa ayat tersebut telah
diangkat (dinasakh) tadi
malam”.
Muslim meriwayatkan dari
Aisyah : “Diantara yang
diturunkan kepada beliau (Nabi)
adalah ‘sepuluh susuan yang
maklum itu menyebabkan
muhrim”. Lafazh Ayat tersebut
telah dinasakh dengan ayat
“Lima susuan yang maklum”.
Jadi lafazh ‘Sepuluh susuan’
telah dinasakh dengan ayat lain
yang ber lafazh ‘Lima susuan’.
Demikian juga hukum lima
susuan telah menasakh hukum
sepuluh susuan yang
menyebabkan menjadi muhrim.
2. Naskh lafaz sedang
hukumnya tetap.
Yaitu lafazh ayat dihapus dari
mushaf, tapi hukumnya tetap
berlaku. Contohnya tentang
hukum rajam bagi pezina
muhson.
Riwayat dari Said bin Al-
Musayyab : “bahwa Umar bin
Khattab telah berkata : “…
Mengenai ayat tentang rajam,
maka janganlah sampai kalian
tidak mengetahuinya, karena
sesungguhnya Rasulullah saw.
telah menerapkan hukuman
rajam, begitu juga dengan kami,
kami telah mempraktekkannya.
Ayat tentang rajam itu benar-
benar telah diturunkan. Ayat
rajam yang kami baca, “Orang
tua laki-laki dan orang tua
perempuan (maksudnya yang
sudah menikah) jika sampai
melakukan perbuatan zina, maka
rajamlah keduanya dengan
pasti”. Kalau bukan karena
khawatir orang-orang akan
mengatakan Umar telah
menambahkan sebuah ayat
dalam kitab Allah, pasti saya
telah menulis ayat itu dengan
tanganku sendiri (dalam mushaf
Al-Qur’an)””.
3. Naskh hukum sedang
lafaznya tetap.
Yaitu lafazh ayat yang dihapus
(mansukh) masih tetap ada
dalam mushaf, tapi hukumnya
telah dihapus oleh ayat yang
menghapusnya (nasikh). Ulama
terdahulu (abad 1 s.d. 3 H)
memperluas konsep nasakh
hingga mencakup hal hal :
a. Penghapusan hukum yang
ditetapkan terdahulu oleh
hukum yang ditetapkan
kemudian.
b. Pengecualian (taksish) hukum
yang bersifat umum oleh
hukum yang meng
khususkannya.
c. Penjelasan yang datang
kemudian terhadap hukum yang
samar.
d. Penetapan syarat terhadap
hukum terdahulu yang belum
bersyarat.
Ulama Mutaakhkhirin
mempersempit pengertian
nasakh hanya bila meghapuskan
hukum yang terdahulu atau
telah berakhirnya masa berlaku
hukum yang terdahulu sehingga
ketentuan yang berlaku adalah
hukum yang ditetapkan
terakhir. Para ulama masih
memperselisihkan adakah ayat
Al-Qur’an yang dinasakh
hukumnya sedangkan lafazhnya
masih ada dalam mushaf.
Sebagian berpendapat tidak ada,
yaitu : Abu Muslim al-Ashfani,
Fakhruddin ar Razi, Muhammad
Abduh, dll. Kelompok yang
menolak adanya nasakh hukum,
mereka menta’wilkan kata
“ayat” dalam QS Al-baqarah :
106 dengan “mukjizat” jadi
yang di nasakh adalah mukjizat
bukan ayat Al-Qur’an.
Adapun kelompok yang
menetapkan adanya nasakh,
menafsirkan kata “ayat” dengan
zahirnya, diantaranya Imam
Syafi’i, Imam Syaukani dan As-
Suyuthi. Mengenai ayat-ayat
yang dinasakh, kelompok yang
menetapkan adanya nasakh
juga berbeda pendapat. As-
Suyuthi menyebutkan ada 21
ayat Al-Qur’an yang dinasakh.
Pembagian Naskh
1. Naskh Al-Qur’an dengan Al-
Qur’an. Semua ulama sepakat
kebolehannya, bagi yang
menetapkan adanya naskh
2. Naskh Al-Qur’an dengan
hadits
a. Naskh Al-Qur’an dengan
hadits mutawatir.
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Ahmad membolehkannya.
b. Naskh Al- dengan hadits
Qur’an ahad.
Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan
jumhur ulama tidak
membolehkan, berdasarkan ayat
“Apa saja yang kami nasakh kan,
atau kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik atau
yang sebanding
dengannya” (QS Al-Baqarah [2] :
106).
3. Naskh hadits dengan Al-
Qur’an
Jumhur ulama sepakat
membolehkan, contoh Arah
kiblat ke Baitul Maqdis yang
ditetapkan dalam sunah
dinasakh oleh ayat Al-Qur’an, QS
Al-Baqarah [2] : 144 : “Maka
palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram”
4. Naskh hadits dengan hadits
a. Naskh hadits mutawatir
dengan hadits mutawatir
b. Naskh hadits ahad dengan
hadits ahad
c. Naskh hadits ahad dengan
hadits mutawatir
d. Naskh hadits mutawatir
dengan hadits ahad
Tiga bentuk pertama
dibolehkan, sedang bentuk ke-
empat diperselisihkan.
5. Naskh berpengganti dan tidak
berpengganti
a. Nasakh tanpa pengganti,
contoh :
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu mengadakan
pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu
mengeluarkan sedekah (kepada
orang miskin) sebelum
pembicaraan itu” (QS Al-
Mujadalah [58] : 12).
Ketentuan ini dinasakh oleh
ayat :
“Apakah kamu takut akan
(menjadi miskin) karena kamu
memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul ?
Maka jika kamu tidak
memperbuatnya – dan Allah
telah memberi taubat kepadamu
– maka dirikanlah shalat,
tunaikan zakat”. (QS Al-
Mujadalah [58] : 13).
b. Nasakh dengan badal akhtaff,
misalnya firman Allah :
“Dihalalkan bagimu pada malam
hari bulan puasa bercampur
dengan istri-istri kamu … “ (QS
Al-Baqarah [2] : 187).
Ayat ini menghapus firman
Allah :
“…sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu
…” (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Karena maksud ayat QS Al-
Baqarah [2] : 183 adalah agar
puasa kita seperti ketentuan
puasa orang-orang terdahulu,
yaitu dilarang bercampur
dengan istri apabila mereka
telah mengerjakan shalat petang
atau telah tidur.
c. Nasakh dengan badal mumasil,
misalnya penghapusan arah
Kiblat ke Baitul Makdis menjadi
menghadap ke Masjidil Haram.
“Maka palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram..” (QS Al-
Baqarah [2] : 144).
d. Nasakh dengan badal asqal,
seperi penghapusan hukuman
penahanan rumah, dalam ayat :
“Dan (terhadap) para wanita
yang mengerjakan perbuatan
keji, datangkanlah empat orang
saksi dari pihak kamu (untuk
menjadi saksi). Kemudian
apabila mereka telah memberi
kesaksian, maka kurunglah
mereka (wanita-wanita itu)
dalam rumah sampai
meninggal…” (QS An-Nisa’ [4] :
15).
Ayat tersebut dinasakh dengan
ayat tentang hukuman rajam
bagi pezina muhson (sudah
pernah menikah) atau dera
seratus kali bagi pezina yang
belum pernah menikah.
Contoh-contoh naskh.
As-Suyuthi menyebutkan dalam
Al-Itqan sebanyak dua puluh
satu ayat, diantaranya :
1. QS Al-Baqarah [2] : 144 :
“Maka palingkanlah mukamu
kearah Masjidil Haram”
Ayat ini menasakh arah kiblat ke
Baitul Maqdis yang ditetapkan
dalam sunnah.
2. QS Al-Baqarah [2] : 180 :
“Diwajibkan atas kamu, apabila
seseorang diantara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya …”
Kewajiban berwasiat dalam
ayat ini dinasakh oleh ayat
tentang hukum waris dan
diperkuat oleh hadits.
“Sesungghuhnya Allah telah
memberikan kepada setiap
orang yang mempunyai hak
akan warisnya, maka tidak ada
wasiat bagi ahli waris”
3. QS Al-Baqarah [2] : 284 : “Jika
kamu melahirkan apa yang ada
dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya
Allah akan membuat
perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu.”.
Ayat ini meng isyaratkan Allah
akan membuat perhitungan
terhadap perbuatan dan
lintasan hati manusia. Namun
pertanggungjawaban lintasan
hati ini dinasakh oleh QS Al-
Baqarah [2] : 286 “Allah tidak
membebani seseorang
melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”.
4. QS Al-Anfal [8] : 65 : “Jika ada
dua puluh orang yang sabar
diantara kamu, niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus
orang musuh…”
Ayat ini melarang kaum
muslimin mundur dari
peperangan bila jumlah musuh
kurang dari sepuluh kali lipat,
namun ayat ini di nasakh
dengan QS Al-Anfal [8] : 66 :
“Sekarang Allah telah
meringankan kepadamu dan Dia
mengetahui bahwa padamu ada
kelemahan. Maka jika ada
diantara kamu seratus orang
yang sabar, niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus
orang”. Ayat ini membolehkan
kaum muslimin mundur dari
peperangan bila jumlah musuh
lebih dari dua kali lipat.
Namun kelompok yang tidak
mengakui adanya nask hukum
dalam mushaf Al-Qur’an tetap
memberikan argumentasi
bahwa ayat-ayat tersebut
bukan nasakh, melainkan hanya
mentahsis atau bisa
dikompromikan atau berlaku
menurut masa tertentu atau
punya sebab berbeda sehingga
hukumnya berbeda.
Hikmah adanya Nasakh :
1. Memelihara kepentingan
kaum muslimin.
2. Perkembangan tasyri menuju
tingkat kesempurnaan sesuai
dengan perkembangan dakwah
dan perkembangan kondisi
umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi
mukallaf, yaitu apakah
mengikuti (mempelajarinya)
ataukah tidak.
4. Menghendaki kebaikan bagi
umat. Jika nasakh beralih ke hal
yang lebih berat maka
didalamnya terdapat tambahan
pahala, dan jika beralih ke yang
lebih ringan maka mengandung
kemudahan dan keringanan.

Jumat, 16 Desember 2011

ADA APA DGN KATA ''ASOLOLE''

Heboh Lagu
Ngamen 2
(Asolole Icik-
icik ehem)
10 Votes
Kata “ASOLOLE” akhir –
akhir ini ngetren di
kalangan masyarakat.
dari anak-anak sampai
simbah-mbah
semuanya tergila – gila
dan ikut – ikutan bilang
“asolole”. Setelah usut
punya usut ternyata
kata “ASOLOLE” itu
pertama kal;i terdengar
dalam sebuah lagu
yang berjudul Ngamen
2, dalam lagu yang
bermusik koplo
tersebut disela-sela
lagunya sang penyanyi
senggak (jawa)
“Asolole Icik-icik ehem”.
Mungkin karena lagu
koplo tersebut liriknya
mudah dimengerti dan
lucu makanya lagu
tersebut ikut tenar.
Bagi yang belum
pernah dengar silahkan
dengarkan dulu, pasti
akan suka.
Nah, jika ingin
bernyanyi dan belum
hafal liriknya, silahkan
baca lirik lagu Ngamen
2 berikut ini.
ASOLOLEEEEEE
Mak iki anakmu prawan
wiwit mbiyen ono ing
perantauan
iling ngiwangi neng
kantin sekolahan
telung sasi mak aku
urung bayaran
mak dongamu mandhi
tenan diijabahi marang
gusti pengeran
koyok ngene rasane
wong ora duwe
duwe pisan di ece karo
kancane
iling-iling manungso
bakale mati
yen wes mati di kubur
sanak family
di pendem jero di apit
bumi
ono kubur iku akeh
pandoso
ulo klabang
kolojengking podo
moro
ono setan membo-
membo dadi perawan
benno krasan yen ono
kuburan
neng akhirat ora ono
montor liwat
neng akhirat ora ono
sego berkat
neng akhirat ora ono
mejo biliard
onone godo ne
moloikat
sak sugih, sugih e
uwong mesti ono
mlarate
sak mlarat, mlarat e
uwong mesti ono
celenganne
mangkane golek bojo
ojo mandeng rupo
rupo elek kuwi yow
ora dadi ngopo
mangkane golek bojo
ojo mandeng bondo
seng pentingg, ora
ngenteni warisan moro
tuwo
kowe pancen keren le,
koyok bekas pacarku
mbiyen,
eman, eman tenan,
kerenmu mung kanggo
obralan
obral, obral janji le
urung mesti uripmu
mulyo
mulo aku wes kondo,
melu aku urip nang
deso
ngiwangi gawe boto,
menek kelopo nyeblok
bongko
ASOLOLEEEE

Kamis, 15 Desember 2011

KAIDAH KALIMAT UMUM DGN SEBAB KHUSUS

XII. Kaidah Kalimat Umum
Dengan Sebab Khusus
Dikalangan umat Islam
berkembang klaim universalitas
dan supremasi Islam yang
berlaku melampaui dimensi
ruang dan waktu, dengan Al-
Qur’an sebagai sumber
pedoman. Al-Qur’an tidak turun
dalam satu masyarakat yang
hampa budaya. Dari sekian
banyak ayat-ayatnya, para
ulama menyatakan harus
dipahami dalam konteks
asbabun nuzulnya, karena ayat
tersebut berinteraksi dengan
kenyataan yang ada dan
kenyataan tersebut mendahului
atau paling tidak bersamaan
dengan turunnya ayat.
Dalam kaitannya dengan
asbabun nuzul, sebagian besar
ulama berpegang pada kaidah
“al ‘ibrahu bi ‘umumil lafzh la
bikhususin asbab” (yang
menjadi pegangan adalah
keumuman lafazh bukan pada
kekhususan sebab), sedangkan
sebagian kecil berpegang pada
kaidah kebalikannya, yaitu al
‘ibratu bikhususus sabab la bi
‘umumil lafzh: (yang menjadi
pegangan adalah kekhususan
sebab bukan pada keumuman
lafazh).
Apabila dijumpai ayat-ayat Al-
Qur’an berkaitan dengan suatu
hukum, yang konteks
pembicaraannya bersifat
khusus terhadap kasus tertentu,
sedangkan teksnya bersifat
umum, maka ketentuan itu tidak
hanya terbatas pada kasus
tersebut, tetapi berlaku umum
pada setiap kasus yang
mempunyai persamaan dengan
kasus khusus tersebut. Inilah
maksud kaidah “yang menjadi
pegangan adalah keumuman
lafazh bukan pada kekhususan
sebab”.
Dalam memahami kaidah diatas,
pendukung kaidah ini
berpandangan bahwa asbabun
nuzul pada hakikatnya hanyalah
salah satu sarana bantu yang
menampilkan contoh untuk
menjelaskan makna redaksi ayat
Al-Qur’an. Sedangkan redaksi
yang bersifat umum itu ruang
lingkupnya tidak terbatas pada
kasus khusus yang
melatarbelakangi turunnya ayat.
Pemahaman semacam ini
didasarkan atas kenyataan
bahwa Al-Qur’an diturunkan
untuk menjadi petunjuk bagi
setiap generasi, sejak masa
turunnya sampai dengan hari
kiamat, dalam setiap tempat dan
situasi.
Pendapat kaidah ini dipandang
rajih (lebih kuat) dan lebih tepat,
sesuai dengan umumnya
hukum-hukumsyariat dan telah
diberlakukan oleh para sahabat
dan imam mujtahid. Demikian
pendapat Ibnu Taimiyah.
Contoh penerapan kaidah
tersebut dalam memahami ayat
yang memiliki asbabun nuzul
tertentu, dalam hal ini QS An-nur
[24] : 6, adalah sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang
melemparkan tuduhan kepada
istri-istri mereka, sedang mereka
tak punya saksi selain diri
mereka sendiri, maka kesaksian
orang itu empat kali sumpah
(dengan sekali bersumpah) demi
Allah, bahwa sungguh dia
berkata benar.”
Ayat ini turun berkaitan dengan
tuduhan yang dilemparkan Hilal
Ibnu Umayyah kepada istrinya,
akan tetapi sebagai mana
terlihat, bunyi ayat ini bersifat
umum. Menurut penganut
kaidah “keumuman lafazh
bukan ke khususan sebab”
dengan demikian ketentuan
hukumnya tidak hanya berlaku
bagi Hilal saja, tetapi juga
berlaku bagi semua orang yang
menuduh istrinya berbuat zina
tanpa saksi.
Adapun penganut kaidah
“kekhususan sebab bukan
keumuman lafazh” lebih
menekankan perlunya analogi
(qiyas) untuk menarik makna
dari ayat-ayat yang memiliki
latar belakang turunnya ayat
(asbabun nuzul)itu, jika qiyas
tersebut memenuhi syarat-
syaratnya.
Allah berfirman dalam QS Al-
Maidah [5] : 38-39 :
“Adapun mengenai pencuri, laki-
laki dan perempuan, potonglah
tangannya sebagai hukuman
atas perbuatannya, sebagai
pelajaran dari Allah. Allah Maha
Perkasa, Maha Bijaksana. Tetapi
barang siapa bertobat setelah
berbuat jahat dan memperbaiki
diri, maka Allah akan menerima
tobatnya, Allah Maha
Pengampun, Maha Pengasih.”
Asbabun nuzul turunnya ayat
tersebut, menurut riwayat
Ahmad dan lain-lain yang
bersumber dari Abdullah bin
Umar, bahwa seorang wanita
mencuri di zaman Rasulullah,
kemudian dipotong tangannya
yang kanan. Wanita tersebut
bertanya, “Apakah diterima
tobatku, ya Rasulullah ?” Maka
Allah menurunkan ayat
berikutnya QS [5] : 39 yang
menegaskan bahwa tobat
seseorang akan diterima Allah
apabila ia memperbaiki diri dan
berbuat baik.
Bila saklek berpegang pada
kaidah “keumuman lafazh
bukan pada ke khususan
sebab”maka akan ada
kecenderungan memahami ayat
tersebut secara tekstual, bahwa
ketetapan hukum potong
tangan bagi seorang pencuri itu
berlaku umum disegala situasi
dan tempat, dengan
mengabaikan konteks situasi
sosial yang menjadi latar
belakang turunnya ayat
tersebut, sehingga relevansi
ketetapan hukum kurang
mendapat perhatian. Padahal
perubahan waktu dan situasi
yang meliputi meniscayakan
perubahan hukum. Ketika ayat
tersebut tidak diterapkan dalam
suatu masyarakat, seperti
ijtihad Umar bin Khattab pada
masanya, tidak memotong
tangan pencuri dimasa paceklik,
apakah lantas dipahami bahwa
Umar bin Khattab telah
meninggalkan ayat tersebut,
atau ayat disesuaikan dengan
situasi kondisi ?
Cara pandang ekstrim demikian
akan muncul bila asbabun nuzul
dipahami sebatas peristiwa dan
pelakunya. Apabila ia dipahami
secara komprehenship, meliputi
waktu, tempat, situasi dan
kondisi sosial-budaya yang
melatarbelakangi turunnya ayat,
kemudian dicoba dicari tujuan-
tujuan syariah dan mashlahah
mursalah yang menjadi ruh ayat
tersebut, maka akan dapat
melahirkan perkembangan
dalam penafsiran yang lebih
tepat.

Rabu, 14 Desember 2011

ASBABUN NUZUL (sebab sebab ayat turun)

XI. Asbabun Nuzul (sebab-
sebab turunnya ayat)
Turunnya ayat Al-Qur’an dibagi
menjadi dua macam :
1. Tanpa sebab khusus (ibtida’).
2. Dilatarbelakangi oleh suatu
peristiwa atau adanya
pertanyaan.
Untuk mengetahui asbabun
nuzul satu-satunya cara adalah
melalui riwayat yang
dinyatakan oleh para sahabat
Nabi. Merekalah orang-orang
yang mengerti betul kapan,
dimana, kepada siapa dan dalam
konteks apa Al-Qur’an
diturunkan. Walaupun demikian
tidak semua riwayat dinyatakan
oleh para sahabat mengenai
turunnya Al-Qur’an tersebut
dikonotasikan asbabun nuzul.
Adapun mengenai riwayat yang
berkaitan dengan asbabun
nuzul :
1. Jika ada sahabat yang
mengatakan : “Sebab turunnya
ayat ini adalah …. “
2. Jika sahabat menceritakan
adanya sebuah pertanyaan
yang kemudian turun ayat
sebagai jawaban atau reaksi
dari pertanyaan tersebut.
3. Jika ada indikasi yang kuat
(rajih) menunjukkan asbabun
nuzul, contoh :
“Rasulullah telah ditanya
tentang ini, maka turunlah ayat
….”
4. Jika ada pernyataan sahabat :
“Ayat ini diturunkan dalam
konteks …..”
Maka itu bisa menunjukkan
asbabun nuzul bisa
menunjukkan penjelasan /
penafsiran sahabat terhadap
suatu ayat, jadi masih perlu
diteliti.
Bila ada perbedaan riwayat
mengenai asababun nuzul suatu
ayat maka harus diteliti untuk
dipilih mana yang paling kuat
(ditarjih) atau kalau masih
mungkin dikompromikan.
Contoh study asbabun nuzul :
Firman Allah dalam QS Al-
Baqarah [2] : 195 :
“Dan belanjakanlah (harta
bendamu) dijalan Allah dan
janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri kedalam
kebinasaan dan berbuat baiklah,
karena sesungghuhnya Allah
menyukai orang-orang yang
berbuat baik.”
Ibnul Araby mengatakan, ada
lima pendapat menafsirkan At-
Tahlukah (kebinasaan), yaitu :
1. Janganlah engkau
meninggalkan pemberian
nafkah.
2. Janganlah engkau berjihad
tanpa perbekalan.
3. Janganlah engkau
meninggalkan jihad.
4. Janganlah engkau
menggempur pasukan
sedangkan engkau tidak
mempunyai kekuatan untuk
menyerangnya.
5. Janganlah engkau putus asa
dari ampunan Allah (karena
merasa sudah terlalu banyak
dosa).
Imam Ath-Thabari mengatakan :
“Maknanya umum mencakup
semuanya, tidak kontradiktif
satu dengan yang lain”
Imam Syaukani mengatakan :
“Yang dijadikan pegangan
adalah keumuman lafazh bukan
pada kekhususan sebab
(turunnya ayat).”
Maka perlu disampaikan salah
satu riwayat (atsar) yang
menjelaskan asbabun nuzulnya
ayat tersebut, yaitu riwayat
Imam At-Tirmidzi dari Yazid bin
Abi Habib dari Aslam Abi Imran :
“Waktu kami berada di negeri
Romawi (Konstantinopel)
sekelompok pasukan Romawi
menghadang kami, maka kaum
muslimin menyambut mereka
dengan pasukan sejumlah
mereka atau lebih banyak.
Legiun Mesir dibawah komando
Uqbah bin Amir dan pasukan
lain yang dipimpin Fadhalah bin
Ubaid. Seorang tentara kaum
muslimin menerjang barisan
pasukan Romawi sendirian,
melihat itu banyak yang
berteriak, ‘Subhanallah ia
menjerumuskan dirinya menuju
kebinasaan.’ Mendengar itu Abu
Ayyub Al-Anshari (salah seorang
sahabat Nabi) berkata : “Wahai
saudara-saudara, kalian
memehami ayat ini dengan
penakwilan seperti itu ?
Ketahuilah, bahwa ayat ini
turun kepada kami kaum
Anshar. Ketika Allah memberikan
izzah (kejayaan) kepada Islam
dan memperbanyak penolong-
penolongnya, sebagian kami
(kaum Anshar) saling berkata
secara sembunyi-sembunyi
tanpa diketahui Rasulullah SAW,
‘Ketahuilah, bahwa harta kita
sudah habis dan Allah telah
memberikan kejayaan kepada
Islam dan memperbanyak
pendukungnya, apakah tidak
lebih baik kita untuk konsentrasi
pada harta kita dan kita dapat
mengembalikan harta kita yang
hilang. Maka Allah kemudian
menurunkan ayat ini (QS Al-
Baqarah [2] : 195) kepada
NabiNya sebagai jawaban
kepada kami, arti dari At-
Tahlukah (kebinasaan) adalah
konsentrasi terhadap harta
(niaga, berkebun) dan
pemanfaatannya (berfoya-
foya) yang berakibat
meninggalkan perang (jihad).’
Abu Ayyub Al-Anshari
senantiasa berjihad fisabilillah
sampai beliau dikebumikan di
tanah Romawi (Konstantinopel),
kuburan beliau ada disana.” (HR
Tirmidzi, Abu Dawud dan
Ahmad, lafazh diatas adalah
yang terdapat pada riwayat
Tirmidzi).
Walaupun ada kaidah “Yang jadi
pegangan adalah keumuman
lafazh bukan pada kekhususan
sebab” paling tidak dari riwayat
diatas setidaknya dapat
membantu penafsiran yang
lebih spesifik yaitu : Janganlah
kamu menghentikan ber infaq
membelanjakan harta dijalan
Allah dan janganlah kamu
meninggalkan jihad fisabilillah
yang dapat menyebabkan kamu
binasa yaitu lemah dan atau
dikuasai musuh.
Manfaat mengetahui asbabun
nuzul :
1. Mengkhususkan hukum
dengan sebab turunnya ayat
hukum..
2. Menghilangkan kaburnya
pembatas (hashr) atas apa yang
lahirnya menunjukkan
pembatasan
3. Mengetahui hikmah
disyariatkannya hukum.
4. Mengetahui latar belakang
disyariatkannya hukum
5. Mengetahui tentang siapa
ayat tersebut diturunkan, dan
tidak diterapkan kepada orang
lain yang tidak semestinya.
Contoh : Ketika Marwam bin
hakam menjabat Gubernur Hijaz
(Mekkah-Madinah) pada
pemerintahan Muawiyah bin
Abu Sofyan, Marwan berpidato
yang intinya mengajak
penduduk Hijaz membaiat Yazid
bin Muawiyah sebagai Khalifah
sepeninggal ayahnya, Marwan
berkata : “ini adalah sunah Abu
Bakar dan Umar”. Tiba-tiba
Abdurrahman bin Abu Bakar
menyahuti : “Itu sunnah Kisra
(Persia) dan Kaisar (Romawi)”
seraya pergi ke rumah Aisyah
(kakaknya). Maka Marwan
berkata : “Itulah orang yang
dikatakan dalam Al-Qur’an, ‘Dan
janganlah kamu berkata kepada
ibu-bapaknya : ‘Cis, bagi kamu
berdua’ “. Perkataan Marwan itu
sampai kepada Aisyah, maka
Aisyah membantah dan
berkata : “Marwan berdusta,
Demi Allah, maksud ayat itu
tidaklah demikian, Sekiranya aku
mau menyebutkan mengenai
siapa ayat itu turun, tentulah
aku sudah menyebutkannya.”

Selasa, 13 Desember 2011

MAKKIYAH - MADANIYAH

X. Makkiyah – Madaniyah
Pokok-pokok bahasan ayat-ayat
Makki-Madani adalah :
1. Ayat yang diturunkan di
Mekkah.
2. Ayat yang diturunkan di
Madinah.
3. Ayat yang diperselisihkan
turun di Mekkah atau Madinah.
4. Ayat-ayat Makkiyah dalam
surah madaniyah.
5. Ayat-ayat Madaniyah dalam
surah Makkiyah.
6. Ayat yang diturunkan di
Mekkah tapi hukumya Madaniah.
7. Ayat yang diturunkan di
Madinah tapi hukumnya
Makkiyah
8. Ayat yang serupa dengan
yang diturunkan di Mekkah
dalam kelompok Madaniyah.
9. Ayat yang serupa dengan
yang diturunkan di Madinah
dalam kelompok Makkiyah.
10. Yang dibawa dari Mekkah ke
Madinah.
11. Yang dibawa dari Madinah
ke Mekkah.
12. Yang turun diwaktu malam
dan siang
13. Yang turun dimusim panas
dan musim dingin.
14. Yang turun ketika menetap
(mukim) dan dalam perjalanan
(safar).
Perbedaan Makkiyah dan
Madaniyah :
1. Berdarakan waktu, inilah
yang paling populer dikalangan
mufasirin bahwa telah menjadi
kesepakatan dikalangan mereka,
bahwa surat atau ayat yang
diturunkan sebelum hijrah
adalah Makkiyah, sedangkan
yang diturunkan sesudah hijrah
adalah Madaniyah. Dalam hal ini
tempat bukan menjadi ukuran.
Misalnya QS Al-Maidah [5] : 3
adalah Madaniyah meskipun
diturunkan di Arafah - Mekkah.
2. Berdasarkan tempat, jika
diturunkan di Mekkah (meliputi
Mina, Arafah, Hudaybiyah)
berarti Makkiyah. Jika
diturunkan di Madinah (meliputi
Badar dan Uhud) berarti
Madaniyah.
3. Berdasarkan Khitab, yaitu
seruan yang disampaikan. Jika
ditujukan kepada penduduk
Mekkah maka Makkiyah. Jika
ditujukan kepada penduduk
Madinah maka berarti
Madaniyah. Klasifikasi ini
bermasalah jika seruan tidak
ditujukan kepada keduanya.
Ayat Makkiyah dan ciri-cirinya :
1. Setiap surat yang
mengandung sajadah.
2. Setiap surat yang
mengandung lafazf “kalla”.
3. Setiap surat yang
mengandung “ya ayyuhan nas”.
4. Setiap surat yang
mengandung kisah para Nabi
kecuali surat Al-Baqarah
5. Setiap surat yang
mengandung kisah Adam dan
Iblis kecuali surat Al-Baqarah.
6. Setiap surat yang diawali
dengan huruf muqatta’ah
kecuali surat Al-Baqarah dan Ali-
Imran sedangkan surat Ra’d
masih diperselisihkan.
7. Isinya mengajak kepada
tauhid, celaan terhadap akidah
musyrik dan budaya jahiliyah,
khabar surga dan peringatan
neraka, kisah para Nabi dan
umat terdahulu yang
dibinasakan, kata-katanya
pendek, singkat tapi membekas
dan berkesan.
Ayat Madaniyah dan ciri-
cirinya :
1. Setiap surat yang berisi
kewajiban atau sanksi.
2. Setiap surat yang didalamnya
disebutkan orang-orang
munafik, kecuali surat Al-
Ankabut .
3. Setiap surat yang didalamnya
terdapat dialog dengan ahli
kitab.
4. Surah yang mengandung
seruan “Ya ayuhalladzina amanu
…”
5. Isinya menjelaskan ibadah,
muamalah, hukum dan
perundang-undangan, seruan
terhadap ahli kitab untuk masuk
Islam, menyingkap perilaku
orang munafik, ayatnya
panjang-panjang dan
memantapkan syariat.
Faedah mengetahui Makkiyah –
Madaniyah :
1. Mengetahui tempat dan
waktu diturunkannya ayat Al-
Qur’an, untuk membantu
memahami penafsiran yang
benar serta analisa nasikh-
mansukhnya.
2. Meresapi gaya bahasa Al-
Qur’an dan memanfaatkannya
dalam metode dan tahapan
dakwah.
3. Memahami sirah nabawiyah
dan periode periode
dakwahnya.

USHUUL TAFSIR

IX. Ushul Tafsir
Ushul tafsir adalah cabang dari
ilmu ulumul Qur’an yang
membahas ilmu-ilmu dan
kaidah-kaidah yang diperlukan
dan harus diketahui untuk
menafsirkan Al-Qur’an. Ushul
tafsir ini adalah bagian dari
ulumul qur’an yang paling
penting karena sangat erat
kaitannya dengan istinbath
(penyimpulan hukum) dalam
fikih dan penetapan i’tikad
(tauhid, akidah) yang benar.
Ibnu Taimiyyah dalam
Muqaddimah fi Ushulit Tafsir
menyatakan : “Jika ada orang
bertanya : ‘Apakah jalan yang
terbaik untuk menafsirkan Al-
Qur’an, maka jawabnya :
‘Menafsirkan Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an. Apabila ebgkau tidak
mendapatkan penafsirannya
pada Al-Qur’an, maka
tafsirkanlah dengan sunnah
(hadits), karena sesungguhnya
ia memberi penjelasan terhadap
Al-Qur’an. Apabila tidak engkau
temukan tafsirnya dalam Al-
Qur’an dan tidak pula dalam
sunnah, maka merujuklah
kepada perkataan-perkataan
sahabat Nabi SAW, karena
mereka paling mengetahui
sesudah Nabi, mengingat
mereka menyaksikan (sebagian)
turunnya Al-Qur’an dan situasi
ketika ayat itu turun serta
mereka memiliki pemahaman
yang benar dari Nabi. Apabila
tidak ditemukan penafsiran
dalam Al-Qur’an dan sunnah
serta tidak ada pula penafsiran
sahabat, maka dalam hal ini para
imam merujukperkataan
tabi’in…”
A. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-
Qur’an
Metode ini berdasarkan contoh
dari Rasulullah. Ketika para
sahabat membaca firman Allah :
“Mereka yang beriman dan tidak
mencampur adukkan
keimanannya dengan kezaliman,
mereka itulah yang mendapat
kemananan dan mereka
mendapat petunjuk” (QS [6] :
82}.
Para sahabat bertanya kepada
Rasulullah : “Wahai Rasulullah,
siapakah diantara kita orang
yang tidak menzalimi dirinya
sendiri ?” Nabi menjawab :
“Tidak seperti yang kalian
sangka, kezaliman yang
dimaksud adalah syirik.
Tidakkah enkau membaca
ucapan hamba yang saleh
(Luqman) : “Sesungguhnya
kemusyrikan adalah kezaliman
yang sangat besar”. (QS Luqman
[31] : 13).
Firman Allah dalam QS Al-Fatihah
[1] : 6 :
“Tunjukilah kami jalan yang
lurus, jalan orang-orang yang
Engkau beri nikmat”
Siapakah yang dimaksud orang-
orang yang diberi nikmat ?
maka tafsirnya ada pada ayat
Al-Qur’an yang lain, yaitu QS An-
Nisa’ [4] : 69 :
“Barangsiapa yang mentaati
Allah dan Rasul (Nya), mereka
itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, yaitu : Nabi-
Nabi, para Shiddiqin, orang-
orang yang mati syahid dan
orang-orang saleh. Mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya”.
B. Tafsir Al-Qur’an dengan
sunnah (hadits)
Peran (hadits) Rasulullah
terhadap Al-Qur’an :
1. Menjelaskan bagian yang
masih global (mujmal).
2. Mengkhususkan (men-takhsis)
yang masih umum (‘amm).
3. Menjelaskan arti dan kaitan
kata-kata tertentu.
4. Memberikan ketentuan
tambahan dari aturan yang
telah ada dalam Al-Qur’an.
5. Menjelaskan nasakh
(menghapus) ayat.
6. Menegaskan hukum-hukum
yang telah ada.
Firman Allah dalam QS Al-
Baqarah [2] : 43 :
“…dan dirikanlah shalat…”
Perintah mendirikan sholat
tersebut masih kalimat global
(mujmal) yang masih butuh
penjelasan bagaimana tata cara
sholat yang dimaksud, maka
untuk menjelaskannya
Rasulullah naik keatas bukit
kemudian melakukan sholat
hingga sempurna, lalu
bersabda : “Sholatlah kalian,
sebagaimana kalian telah
melihat aku shalat” (HR
Bukhary).
C. Tafsir Al-Qur’an dengan
perkataan sahabat Nabi (Qaul
Sahabi).
Sahabat nabi adalah generasi
terbaik yang beriman dan
diridloi Allah, bertemu langsung
dengan Nabi dan ikut
menyaksikan peristiwa yang
melatarbelakangi turunnya
suatu ayat dan keterkaitan
turunnya dengan ayat yang lain.
Mereka mempunyai kedalaman
pengetahuan dari segi bahasa,
saat bahasa itu digunakan,
kejernihan pemahaman,
kebenaran manhaj, kuatnya
keyakinan, apalagi jika mereka
telah melakukan Ijma dalam
suatu penafsiran.
Firman Allah dalam QS An-Nur
[24] : 31 :
“Hendaklah mereka tidak
menampakkan kecantikannya,
kecuali apa yang boleh tampak
darinya”
Ibnu Abbas menafsirkan yang
boleh tampak itu adalah :
“wajahnya, kedua telapak
tangan dan cincin”
D. Tafsir Al-Qur’an dengan
perkataan tabi’in.
Tabi’in bertemu langsung
dengan para sahabat Nabi dan
mengambil ilmu dari mereka.
Di Mekkah berdiri perguruan
Ibnu Abbas, diantara para tabi’in
yang menjadi muridnya adalah :
Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah
maula Ibnu Abbas, Tawus bin
Kaisan Al-Yamani dan ‘Ata bin
Abi Rabah.
Di Madinah Ubay bin Ka’ab lebih
menonjol dibidang tafsir dari
sahabat Nabi yang lain, diantara
muridnya dikalangan tabi’in
adalah : Zaid bin Aslam, Abu
‘Aliyah dan Muhammad bin
Ka’ab al-Qurazi.
Di Kufah (Iraq) berdiri
perguruan Ibnu Mas’ud, yang
dipandang oleh para ulama
sebagai cikal bakal mazhab ahli
ra’y (akal). Tabi’in yang menjadi
muridnya antara lain : ‘Alqamah
bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin
Yazid, Murrah Al-Hamazani, ‘Amir
Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan
Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Sufyan Tsauri berkata : “Jika
datang padamu tafsir dari
Mujahid, cukuplah itu bagimu”.
Berkata Ibnu Taimiyah : “Syafi’i,
Bukhari dan ahli ilmu lainnya
banyak berpegang kepada
tafsirnya”.
Az-Sahabi berkata : “Umat
sepakat bahwa Mujahid adalah
tokoh terkemuka yang kata-
katanya dijadikan hujjah, dan
kepadanya Abdullah bin Kasir
belajar”.
Diantara tokoh-tokoh tabi’in
Mujahid merupakan yang paling
menonjol dan perkataannya
banyak diikuti mufasirin
sesudahnya. Tentunya harus
diseleksi sanad-sanad atsar
yang disandarkan kepada
mereka, bila sahih maka layak
untuk diikuti.
E. Israiliyyat.
Setelah beberapa ulama Yahudi
masuk Islam, seperti : Abdullah
bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb
bin Munabbih, Abdul Malik bin
Abdul ‘Azis bin Juraij; khabar
dan kisah dari kitab-kitab Bani
Israil mulai menyebar di
kalangan kamu muslimin.
Sebagian mufasirin mengutip
Israiliyyat ini kedalam kitab
tafsir mereka.
Israiliyyat ini dibagi menjadi
tiga :
1. Yang sesuai dengan syariat
Islam, maka bisa diterima.
2. Yang bertentangan dengan
syariat Islam, maka harus
ditolak.
3. Yang didiamkan, tidak
diterima dan tidak ditolak,
sebatas dijadikan wacana.

TEMA-TEMA DALAM AL-QUR'AN

VIII. Tema-Tema Dalam Al-
Qur’an
8.1 Amsal (perumpamaan) dalam
Al-Qur’an
Menurut Ibnu Qayyim, Amtsalul
Qur’an adalah penyerupaan
sesuatu dengan sesuatu yang
lain dalam hal hukumnya dan
mendekatkan sesuatu yang
abstrak dengan yang kongkrit.
Macam-macam Amtsal
(perumpamaan) dalam Al-
Qur’an :
1. Amtsal Musarrahah,
ditunjukkan dengan lafazh
pemisalan atau sesuatu yang
menunjukkan tasbih.
Contohnya : QS Al-Baqarah [2] :
17-20 :
“Perumpamaan mereka adalah
seperti orang yang menyalakan
api, maka setelah api itu
menerangi sekelilingnya, Allah
menghilangkan cahaya (yang
menyinari) mereka dan
membiarkan mereka dalam
kegelapan, tidak dapat melihat.
Mereka ini bisu dan buta, maka
tidaklah mereka akan kembali
(ke jalan yang benar). Atau
seperti orang-orang yang
ditimpa hujan lebat dari langit
disertai gelap gulita, guruh dan
kilat. …. Sesungguhnya Allah
berkuasa atas segala sesuatu”
2. Amtsal Kaminah, yaitu tidak
ditunjukkan dengan lafazh
permisalan.
Contohnya : QS Al-Baqarah [2] :
68 :
“Sapi betina yang tidak tua dan
tidak muda, pertengahan dari
itu “
3. Amtsal Mursalah, kalimat-
kalimat bebas yang tidak
menggunakan lafazh tasbih
secara jelas, tetapi kalimat-
kalimat itu berlaku sebagai
permisalan.
Contoh : QS [11] : 81 :
“Bukankah subuh itu sudah
dekat” sebagai perumpamaan
waktu yang udah dekat.
Kitab yang khusus membahas
Amtsalul Qur’an diantaranya
Amtsal Al-Qur’an karangan Ibnu
Qayyim Jauziah.
8.2. Qasam (sumpah) dalam Al-
Qur’an
Bentuk sumpah ada dua, yaitu :
1. Qasam Zahir, yaitu disebutkan
kata sumpah, contohnya QS
[75] : 1-2 :
“Aku bersumpah dengan hari
kiamat. Dan Aku bersumpah
dengan jiwa yang amat
menyesali (dirinya sendiri)”
2. Qasam Mudhmar, yaitu tidak
disebutkan kata sumpah
didalamnya, contohnya QS [3] :
186 :
“Kamu sungguh-sungguh akan
diuji terhadap harta dan dirimu”
8.3. Jadal (perdebatan) dalam Al-
Qur’an
Bentuk dan tujuan perdebatan
dalam Al-Qur’an :
1. Membungkam lawan, contoh
pada QS at-Tur [52] : 35-43 :
“Apakah mereka diciptakan
tanpa sesuatu pun ataukah
mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri ) ?. Ataukah
mereka telah menciptakan langit
dan bumi itu ? Ataukah disisi
mereka ada perbendaharaan
Tuhanmu ataukah mereka yang
berkuasa ? Ataukah mereka
mempunyai tangga (ke langit)
untuk mendengarkan pada
tangga itu (hal-hal yang ghaib) ?
Maka hendaklah orang yang
mendengarkan di antara mereka
mendatangkan suatu
keterangan yang nyata.
Ataukah untuk Allah anak-anak
perempuan dan untuk kamu
anak-anak laki-laki ? Ataukah
kamu meninta upah kepada
mereka sehingga mereka
dibebani dengan utang ?
Apakah ada pada sisi mereka
pengetahuan tentangnya yang
lalu mereka menuliskannya ?
Ataukah mereka hendak
melakukan tipu daya ? Maka
orang-orang kafir itu merekalah
yang kena tipu daya. Ataukah
mereka mempunyai tuhan selain
Allah ? Mahasuci Allah dari apa
yang mereka sebutkan”.
2. Mengambil dalil penciptaan
awal untuk argumen hari
kebangkitan, contohnya pada
QS at-Tarik [86] : 5-8 :
“Maka hendaklah manusia
memperhatikan dari apakah ia
diciptakan ? Ia diciptakan dari
air yang terpancar. Yang keluar
dari antara tulang sulbi laki-laki
dan tulang dada perempuan.
Sesungguhnya Allah benar-
benar berkuasa
mengembalikannya
(menghidupkan sesudah mati)”
3. Membatalkan pendapat lawan
dengan bukti kebenaran
kebalikannya. Contohnya pada
QS al-An’am [6] : 91 :
“Katakanlah siapa yang
menurunkan kitab (Taurat) yang
dibawa oleh Musa sebagai
cahaya dan petunjuk bagi
manusia, kamu jadikan kitab itu
lembaran-lembaran kertas yang
bercerai-berai, kamu
perlihatkans ebagiannya dan
kamu sembunyikan sebagian
besarnya; padahal telah
diajarkan kepada kamu apa
yang kamu dan bapk-bapak
kamu tidak mengetahuinya ?
Katakan lah : Allah-lah (yang
menurunkannya), kemudian
(sesudah kamu menyampaikan
Al-Qur’an kepada mereka),
biarkanlah mereka bermain-
main dalam kesesatannya”
4. Menerangkan bahwa sesuatu
itu bukanlah alasan hukum,
contoh pada QS Al-An’am [6] :
143-144 :
“Delapan binatang yang
berpasangan,sepasang dari
domba dan sepasang dari
kambing. Katakanlah : ‘Apakah
dua yang jantan yang
diharamkan Allah ataukah dua
betina, ataukah yang ada dalam
kandungan dua betinanya ?
Terangkanlah kepadaku dengan
berdasar pengetahuan jika
kamu memang orang-orang
yang benar. Dan sepasang dari
unta dan sepasang dari lembu.
Katakanlah : ‘Apakah dua yang
jantan yang diharamkan
ataukah dua betina, ataukah
yang ada dalam kandungan dua
betinanya ?’ Apakah kamu
menyaksikan di waktu Allah
menetapkan ini bagimu ? Maka
siapakah yang lebih zalim
daripada orang-orang yang
membuat-buat dusta terhadap
Allah untuk menyesatkan
manusia tanpa pengetahuan ?
Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim”
5. Mematahkan hujjah lawan,
contohnya pada QS Al-An’am
[6] : 100-101 :
“Dan mereka (orang-orang
musyrik) menjadikan jin itu
sekutu bagi Allah, padahal Allah-
lah yang menciptakan jin-jin itu
dan mereka berbohong (dengan
mengatakan) : bahwasanya
Allah mempunyai anak lai-laki
dan perempuan, tanpa berdasar
ilmu pengetahuan. Mahasuci
Allah dan Mahatinggi dari sifat-
sifat yang mereka berikan. Dia
pencipta langit dan bumi.
Bagaimana Dia mempunyai anak
padahal Dia tidak mempunyai
isteri ? Dia menjadikan segala
sesuatu dan Dia mengetahui
segala sesuatu”.
8.4. Qishosh (Kisah) dalam Al-
Qur’an
Macam-macam kisah dalam Al-
Qur’an :
1. Kisah Nabi-Nabi terdahulu,
seperti Nabi Nuh, Hud, Ibrahim,
Musa, Yusuf, dsb.
2. Kisah person tertentu, seperti
Lukman, Dzulqarnain, Ashabul
Kahfi, Maryam, dll.
3. Kisah peristiwa-peristiwa,
seperti perang badar, perang
uhud, perang ahzab, dsb.

Senin, 12 Desember 2011

QIRAAT DAN PENGAJARAN AL-QUR'AN

VII. Qiraat dan Pengajaran
Al-Qur’an
Dari segi bahasa kata qira’ah
berarti bacaan, masdar dari
qara’a. Dari segi istilah, Az-
Zaqrani memberikan pengertian
qira’ah adalah sebagai suatu
mazhab yang dianut oleh
seorang qari’ dalam membaca
Al-Qur’an yang berbeda satu
dengan yang lainnya dalam
pengucapan Al-Qur’an serta
disepakati riwayat dan sanad-
sanadnya, baik perbedaan itu
dalam pengucapan huruf
maupun dalam pencucapan
lafaznya.
Mazhab qira’ah yang terkenal
adalah qira’ah sab’ah (tujuh),
qira’ah asyarah (sepuluh) dan
qira’ah arba’a ‘asyarah (empat
belas). Perbedaan ini disebabkan
oleh berbedanya kapasitas
intelektual dan kapasitas
masing-masing sahabat dalam
mengetahui cara membaca Al-
Qur’an. Hal ini juga berkaitan
dengan tulisan Al-Qur’an dalam
mushaf Usmani yang belum
diberi baris atau tanda baca
apapun, sehingga bacaan Al-
Qur’an dapat berbeda dari
susunan huruf-hurufnya,
terutama pada saat wilayah
Islam semakin meluas dan para
sahabat yang mengajarkan Al-
Qur’an menyebar ke berbagai
daerah.
Qira’ah sab’ah (tujuh) adalah
qira’ah yang merujuk kepada
tujuh imam yang masyhur,
yaitu :
1. Ibnu Katsir dari Mekkah, yang
nama lengkapnya adalah Abu
Ma’bad Muhammad Abdullah Bin
Katsir Bin umar bin Zadin Ad-
Dari Al Makki (45-120 H). Belajar
qira’ah kepada sahabat Nabi
Abu Said Bin Abdullah Bin Shaib
Al Makhzumi.
2. Imam Nafi’ dari Isfahan
(Madinah), yang nama
lengkapnya adalah Abu Nu’aim
Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu
Nu’aim Al Laitsi Al Isfahani Al
Madani(70-169 H). Belajar
qira’ah kepada Zaid bin Qa’qa Al
Qurri Abu Ja’far dan Abu
Maimunah.
3. Imam ‘Ashim bin Abi nujub
bin Bahdalah Al Asadi Al Kufi
(wafat 127 H). Belajar qira’ah
kepada Sa’ad bin Iyasy Asy
Syaibani, Abu Abdurrahman
Abdullah bin habib As Salami
dan Zir bin Hubaisy.
4. Imam Hamzah dari Kufah,
nama lengkapnya adalahAbu
Imarah Hamzah bin Habib Az
Zayyat Al Fardhi Attaimi
(156-216 H). Belajar qira’ah
kepada Imam Ashim Imam As
Sabi’I Abu Muhammad Sulaiman
bin Mahram Al A’mari.
5. Imam Kuzai dari Kufah, nama
lengkapnya adalah Abu Hasan
Ali bin Hamzah bin Abdullah bin
Fairuz Al Farizi Al Kuzai An
Nahwi (119-189 H). Belajar
qira’ah pada imam Hamzah dan
Imam Syu’bah bin Iyasy.
6. Imam Abu Amr dari Basrah,
nama lengkapnya adalah Abu
Amr Zabban bin Al A’la bin
Ammar Al Basri(70-154 H).
Belajar qira’ah kepada Al
Baghdadi dan Hasan Al Basri.
7. Imam Abu Amir dari
Damaskus, nama lengkapnya
adalah Abu nu’aim Abu Imran
Abdullah bin Amir Asy Syafi’I
Alyas Hubi (21-118 H). Belajar
qira’ah kepada Abu Darda’ dan
Mughirah bin Syu’bah.
Qira’ah Asyarah (sepuluh)
adalah qira’ah tujuh diatas
ditambah dengan tiga imam lagi,
yaitu :
8. Imam Ya’qub dari Basrah,
nama lengkapnya Abu
Muhammad Ya’qub bin Ishaq Al
Basri Al Madhrami (wafat 205
H).
9. Imam Khalaf dari Kufah, nama
lengkapnya Abu Muhammad
Khalaf bin Hisyam bin Thalib Al
Makki Al Bazzaz (wafat 229 H).
10. Imam Ja’far dari Madinah,
nama lengkapnya Abu Ja’far
Yasid bin Al Qa’qa Al Makhzumi
Al Madani (wafat 230 H).
Qira’ah ‘Arba’a ‘Asyarah (empat
belas) adalah qira’ah sepuluh
diatas ditambah empat imam
lagi, yaitu :
11. Imam Hasan Al Basri
12. Imam Ibnu Mahisy
13. Imam Yahya Al Yazidi
14. Imam Asy Syambudzi.
Para ahli sejarah menyebutkan
bahwa orang yang pertama kali
menuliskan ilmu qira’ah adalah
Imam Abu Ubaid Al Qasim bin
Salam (wafat 224 H). Beliau
menulis sebuah kitab dengan
nama Al-Qira’at yang
menghimpun 25 orang perawi.
Kriteria qira’ah yang diterima :
1. Sesuai dengan kaidah bahasa
Arab.
2. Sesuai dengan salah satu
mushaf Usmani.
3. Sanadnya sahih.
Bila salah satu syarat dari ketiga
syarat diatas tidak dipenuhi
maka qira’at nya dinyatakan
syadz atau tidak sah dan ditolak.
Faedah perbedaan qira’ah :
1. Mempermudah kabilah-kabilah
yang berbeda logat / dialek,
tekanan suara dan bahasanya
dengan bahasa Al-Qur’an.
2. Membantu dalam penafsiran
dan ijtihad, karena perbedaan
qira’at itu bisa jadi menjelaskan
apa yang mungkin masih global
dalam qira’ah lain. Seperti qira’ah
Ibnu Mas’ud dalam surah Al
Maidah ayat 38 : was-sariqqu
wassariqatu faqtha’u
aidiyahuma, dalam qira’ah lain
dibaca faqtha’u aimanahuma.
3. Menunjukkan terjaga dan
terpeliharanya Al-Qur’an dari
penyimpangan, padahal Al-
Qur’an tersebut mempunyai
banyak segi bacaan.
4. Membuktikan kemukjizatan
Al-Qur’an, baik dari segi makna
atau lafaznya.
Tajwid
Tajwidul Qur’an adalah ilmu
yang membahas cara membaca
atau mengucapkan Al-Qur’an
dengan baik dan benar, yang
meliputi tempat keluarnya
(makharijul) huruf, cara berhenti
(waqaf), imalah, idgam, idhar,
ikfak, iqlab, tarqiq, tafkhim, dsb.
Adab membaca Al-Qur’an :
1. Bersiwak sebelumnya.
2. Mempunyai wudhu.
3. Membaca ditempat yang suci
dan bersih.
4. Membaca Ta’awudz sebelum
mulai membaca Al-Qur’an
5. Membaca Basmallah pada
permulaan awal surah, kecuali
surah At-Taubah, sebab
Basmallah termasuk salah satu
ayat Al-Qur’an.
6. Membaca dengan khusuk,
tenang dan takzim.
7. Menghadirkan hati dan
meresapi maknanya.
8. Membaca dengan tartil (pelan
dan tenang) dan dengan tajwid
yang benar.
9. Membaguskan suara.
10. Mengeraskan suara bacaan.
Keadaan suci ketika membaca
dan menyentuh Al-Qur’an
A. Membaca Al-Qur’an dalam
keadaan berhadats kecil.
Membaca Al-Qur’an dalam
keadaan berhadats kecil dengan
tanpa menyentuhnya,
hukumnya jaiz (boleh). Sayyid
Sabiq dalam Fiqhus Sunnah
menyatakan bahwa “Para ulama
tidak berselisih pendapat atau
sepakat didalam masalah
tersebut.”
B. Membaca Al-Qur’an dalam
keadaan berhadats besar
(junub).
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid mengatakan : Jumhur
ulama mengharamkannya.
Dalam Fiqhus Sunnah, karya
Sayyid Sabiq terdapat
keterangan : Imam Bukhary,
ath-Thabrani, Abu Daud dan
Ibnu Hazm membolehkannya.
C. Membaca Al-Qur’an dalam
keadaan haid atau nifas
Hadits Jabir dari Nabi, beliau
bersabda :
“Perempuan yang sedang haidh
dan nifas tidak (boleh)
membaca sesuatu dari Al-
Qur’an” (HR ad-Daraquthni).
Hadits lain bersumber dari Ibnu
Umar yang diriwayatkan oleh
Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu
Majah dengan redaksi yang
tidak jauh berbeda dengan
hadis Jabir diatas. Dari situ
jumhur ulama mengharamkan
wanita yang sedang haid atau
nifas membaca Al-Qur’an.
Imam Syaukani dalam Nailul
Autar berkata : “Kedua hadits
itu tidak patut untuk dijadikan
hujjah untuk hukum “haram””.
(Kedua hadits tersebut masih
diperselisihkan ke-sahihannya).
D. Menyentuh Al-Qur’an dalam
keadaan ber hadats kecil dan
besar.
Dalil yang mengharamkan
menyentuh Al-Qur’an dalam
keadaan ber hadats kecil
maupun besar masih
diperselisihkan dan cenderung
tidak kuat.
Dari segi untuk ke hati-hatian
dan dari adab kesopanan
sebaiknya ketika menyentuh
dan membaca Al-Qur’an sedapat
mungkin dalam keadaan suci
dan punya wudhu.
Menerima upah dari
mengajarkan Al-Qur’an
Abu Laits Nashrun bin
Muhammad as-Samarqandi
dalam kitabnya Bustanul Arifin
menyatakan bahwa
mengajarkan Al-Qur’an itu ada
tiga macam :
1. Mengajarkan Al-Qur’an ikhlas
karena Allah semata dan tidak
meminta upah.
2. Mengajarkan Al-Qur’an
dengan meminta upah.
3. Mengajarkan Al-Qur’an
dengan tanpa syarat, jika
dikasih upah diterima.
Macam pertama mendapat
pahala Allah atas perbuatannya
dan yang demikian itu
meneladani perbuatan para
nabi.
Macam kedua diperselisihkan
oleh para ulama. Sebagian ulama
dahulu (mutaqaddimun)
menetapkan “tidak boleh”.
Sedangkan sebagian ulama
kemudian (mutaakhkhirun)
menetapkan “Boleh” seperti :
Ashnan bin Yusuf, Nashrun bin
Yahya dan Abu Nashr bin Salam.
Macam ketiga disepakati “boleh”
oleh jumhur ulama.

FAWATHIUS SUWAR (pembukaan surat)

VI. Fawatihus Suwar
(Pembukaan Surat)
Fawatisus suwar berarti
pembukaan surat karena
posisinya yang mengawali
perjalanan teks-teks p-ada suatu
surat. Apabila dimulai dengan
huruf-huruf hijaiyah dinamakan
dengan ahruf muqatta’ah
(huruf-huruf terpisah), karena
posisi huruf tersebut
menyendiri dan tidak
bergabung membentuk suatu
kalimat secara kebahasaan.
Ibnu Abi Al Asba’ menulis kitab
yang secara mendalam
membahas tentang bab ini yaitu
kitab Al Khaqatir Al Sawanih fi
Asrar Al Fawatih, beliau
membagi bentuk pembukaan
surat dalam Al-Qur’an dalam lima
bentuk :
1. Pujian kepada Allah.
2. Huruf muqatta’ah, terdapat
dalam 29 surat.
3. Kata seru (ahruhun nida’),
terdapat dalam 10 surat.
4. Kalimat berita, terdapat dalam
23 surat.
5. Sumpah, terdapat dalam 15
surat.
Pembahasan yang dilakukan
para ulama menunjukkan bahwa
pembukaan surat yang
berbentuk huruf muqatta’ah
sering menimbulkan kontroversi
diantara mereka. Sehingga tidak
heran apabila huruf-hurf
muqatta’ah tersebut sering
dikategorikan sebagai ayat-ayat
mutasyabihat yang tidak
seorangpun mengetahui artinya
kecuali Allah. Atau bahkan
disebut sebagai salah satu
rahasia tuhan yang terdapat
dalam Al-Qur’an.

Sabtu, 10 Desember 2011

MUNASABAH (korelasi)

V. Munasabah (Korelasi)
Munasabah adalah ilmu yang
membahas korelasi urutan antar
ayat Al-Qur’an dan atau antar
surah Al-Qur’an. Pengetahuan
tentang munasabah akan
membantu memahami makna
ayat Al-Qur’an. Kadang
ditemukan kaitan umum atau
khusus diantara ayat-ayat Al-
Qur’an baik yang rasional,
inderawi maupun imajinatif
tanpa mengupas lafazh-lafazh
menurut makna peristilahan
bahasa maupun pemikiran
filosofis. Sebagian besar
kaitannya berkisar sekitar sebab
dan musabab. Jika ayat-ayat itu
tidak saling bertemu, tidak
terdapat kecocokan, tentu
berhadapan dengan lawannya.
misalnya menyebut rahmat
setelah azab, menerangkan
keadaan sorga dan neraka,
mengarahkan hati nurani serta
membangkitkan akal pikiran dan
memberikan peringatan serta
mengutarakan ketentuan
hukum.
Ahli tafsir sangat sedikit
mengetengahkan soal-soal
seperti ini, bukan hanya karena
rumit semata, melainkan juga
karena persoalannya dipandang
oleh sebagian orang sangat
tidak dibutuhkan, disamping
banyak menguras tenaga dan
pikiran.
Orang pertama yang membahas
munasabah dalam menafsirkan
Al-Qur’an adalah Abu Bakar An
Naisaburi (wafat 324 H). As
Suyuthi berkata : “Setiap kali ia
(An-Naisaburi) duduk diatas
kursi, apabila dibacakan Al-
Qur’an kepadanya, beliau
berkata : “Mengapa ayat ini
diletakkan disamping ayat ini
dan apa rahasia diletakkan surat
ini disamping surat ini ?”. Beliau
mengkritik para ulama Baghdad
lantaran mereka tidak
mengetahui.”
Tindakan An-Naisaburi
merupakan kejutan dan langkah
barudalam dunia tafsir waktu
itu. Beliau mempunyai
kemampuan untuk menyingkap-
persesuaian, baik antar ayat
ataupun antar surah, terlepas
dari segi tepat atau tidaknya,
segi pro dan kontra terhadap
apa yang dicetuskan beliau. Satu
hal yang jelas, beliau dipandang
sebagai bapak ilmu munasabah.
Perkembangan selanjutnya
munasabah meningkat menjadi
salah satu cabang dari ilmu-ilmu
Al-Qur’an. Penulis yang
membahas dengan baik masalah
munasabah adalah Burhanuddin
Al-Biqa’i dalam kitabnya
Nazhmud Durar fi Tanasubil
Ayati was Suwar.
Manfaat munasabah dalam
memahami ayat Al-Qur’an ada
dua yaitu :
1. Memahami keutuhan,
keindahan dan kehalusan
bahasa.
2. Membantu dalam memahami
kutuhan makna Al-Qur’an.
Untuk menemukan korelasi
antar ayat,sangat diperlukan
kejernihan rohani dan pikiran
agar kita terhindar dari
kesalahan penafsiran.

IJAS (KEMUKJIZATAN) AL-QUR'AN

IV. Ijaz (Kemukjizatan) Al-
Qur’an
Kata mukjizat berasal dari kata
‘ajaz (lemah).I’jaz dapat
diartikan mukjizat, hal yang
melemahkan, yang menjadikan
sesuatu atau pihak lain tak
berdaya. I’jazul Qur’an adalah
kekuatan, keunggulan dan
keistimewaan yang dimiliki Al-
Qur’an yang menetapkan
kelemahan manusia, baik secara
terpisah maupun berkelompok-
kelompok, untuk bisa
mendatangkan minimal yang
menyamainya. Kadar
kemukjizatan Al-Qur’an itu
meliputi tiga aspek, yaitu : aspek
bahasa (sastra, badi’, balagah/
kefasihan), aspek ilmiah
(science, knowledge, ketepatan
ramalan) dan aspek
tasyri’ (penetapan hukum
syariat).
Muhammad Ali Ash Shabumi
dalam kitab At-Tibyan
menyebutkan segi-segi
kemukjizatan Al-Qur’an sebagai
berikut :
1. Susunan kalimatnya indah.
2. Terdapat uslub (cita rasa
bahasa) yang unik, berbeda
dengan semua uslub-uslub
bahasa Arab.
3. Menantang semua mahkluk
untuk membuat satu ayat saja
yang bisa menyamai Al-Qur’an,
tapi tantangan itu tidak pernah
bisa dipenuhi sampai sekarang
ini.
4. Betuk perundang-undangan
yang memuat prinsip dasar dan
sebagian memuat detail rinci
yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia melebihi
setiap undang-undang ciptaan
manusia.
5. Menerangkan hal-hal ghaib
yang tidak diketahui bila
mengandalkan akal semata-
mata.
6. Tidak bertentangan dengan
pengetahuan ilmiah (ilmu pasti,
science).
7. Tepat terbukti semua janji
(ramalan) yang dikhabarkan
dalam Al-Qur’an.
8. Mengandung prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan ilmiah
didalamnya.
9. Berpengaruh kepada hati
pengikut dan musuhnya

Jumat, 09 Desember 2011

III. Sejarah Pembukuan Al-
Qur’an
i. Masa Rasulullah
Pada masa Rasulullah ayat Al-
Qur’an yang turun dihafal oleh
beliau “Sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (didadamu)
dan (membuatmu pandai)
membacanya” (QS Al-Qiyamah
[75] : 17-18). Oleh karena itu
beliau merupakan hafidz
(penghafal) Al-Qur’an yang
pertama dan maha guru
pemberi contoh panutan paling
baik bagi para sahabat dalam
menghafalnya. Dalam sahih
Bukhary dalam tiga riwayat
disebutkan ada tujuh hafidz dari
kalangan sahabat yang hafal Al-
Qur’an, yaitu :
1. Abdullah bin Mas’ud
2. Salim Bin Ma’qal maula Abu
Huzaifah.
3. Mu’az Bin Jabal.
4. Ubay Bin Ka’ab.
5. Zaid Bin Tsabit.
6. Abu Zaid Bin Sakan.
7. Abu Darda’.
Ke-tujuh penghafal Al-Qur’an
diatas adalah para sahabat yang
hafal Al-Qur’an diluar kepala
yang menunjukkan hafalannya
dihadapan Nabi dan sanadnya
sampai kepada kita melalui
riwayat Bukhary. Sedangkan
kenyataannya setelah Rasulullah
wafat, jumlah penghafal
(hafidz) Al-Qur’an dikalangan
sahabat terus bertambah. Untuk
melukiskan hal itu dapat
diketahui dari keterangan Al-
Qurtubi : “Telah terbunuh tujuh
puluh orang qari’ pada perang
Yamamah; dan terbunuh pula
pada masa Nabi sejumlah itu
dalam peristiwa pembunuhan di
sumur Maa’unah”.
Rasulullah telah mengangkat
beberapa penulis Al-Qur’an dari
sahabat-sahabat terkemuka,
seperti : Ali Bin Abi Thalib,
Mu’awiyah Bin Abi Sufyan, Ubay
Bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit.
Bila ayat Al-Qur’an turun beliau
memerintahkan mereka
menuliskannya dan
menunjukkan tempat ayat
tersebut didalam surat,
sehingga penulisan pada
lembaran itu membantu
penghafalan didalam hati (diluar
kepala). Disamping itu sebagian
sahabat menuliskan ayat Al-
Qur’an yang turun itu dengan
kemauan sendiri tanpa
diperintah oleh Nabi. Mereka
menuliskan ayat Al-Qur’an pada
pelepah kurma, lempengan batu,
daun lontar, kulit binatang atau
kulit kayu, pelana, potongan
tulang belulang binatang. Dalam
Al Mustadrak, Hakim
meriwayatkan bahwa Zaid Bin
Tsabit berkata : “kami
menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an
pada kulit binatang” (sanad
sahih menurut syarat Bukhary
dan Muslim).
Pada masa Rasulullah Al-Qur’an
belum dikumpulkan dalam satu
mushaf, karena pada masa
kenabian wahyu masih turun
dan Rasulullah masih selalu
menanti turunnya ayat Al-
Qur’an, disamping itu terkadang
pula terdapat ayat yang nasikh
(dihapus). Susunan atau tertib
penulisan Al-Qur’an itu tidak
menurut tertib nuzulnya, tetapi
setiap ayat turun dituliskan
ditempat penulisan sesuai
dengan petunjuk Nabi, yaitu
beliau menjelaskan bahwa ayat
anu harus diletakkan dalam
surah anu. Al-Khattabi berkata :
“Rasulullah tidak mengumpulkan
Al-Qur’an dalam satu mushaf
karena beliau senantiasa
menunggu ayat nasikh terhadap
sebagian hukum-hukum atau
bacaannya”.
ii. Masa Khalifah Abu Bakar
Shidiq ra.
Setelah Rasulullah wafat, Abu
Bakar terpilih sebagai khalifah.
Saat itu hampir seluruh kabilah-
kabilah Arab kembali murtad
dan sebagian membangkang
menolak membayar zakat,
karena mereka mengira
kekuatan Islam sudah pudar
setelah meninggalnya
Rasulullah. Untuk mengatasi
kemurtadan dan
pembangkangan khabilah-
khabilah Arab itu Khalifah Abu
Bakar mengirimkan pasukan
untuk menundukkan mereka
dan menyeru kembali kepada
Islam yang dikenal sebagai
“perang ridah”.
Disamping itu di daerah
Yamamah –Arab Selatan- muncul
Musailamah Al-Khazab –sang
pendusta- yang mengaku
sebagai nabi. Khalifah Abu Bakar
memeranginya yang dikenal
sebagai “perang Yamamah”.
Pada berbagai peperangan-
peperangan tersebut banyak
qari dan pengahafal Al-Qur’an
dari kalangan sahabat nabi yang
gugur. Umar Bin Khattab yang
merupakan penasehat utama
Khalifah Abu Bakar merasa
khawatir Al-Qur’an akan punah
bersama banyaknya qari yang
gugur tersebut. Umar Bin
Khattab mengusulkan agar Al-
Qur’an dikumpulkan dalam satu
mushaf.
Mula-mula Khalifah Abu Bakar
menolak usulan itu dengan
alasan hal itu tidak dilakukan
oleh Rasulullah dan hal itu tidak
diperintahkan oleh Rasulullah.
Tetapi Umar terus membujuk
Khalifah Abu Bakar tentang
perlunya pembukuan Al-Qur’an
dalam satu mushaf, sehingga
Allah membukakan hati Abu
Bakar untuk menerima usulan
umar tersebut. Khalifah Abu
Bakar kemudian memanggil Zaid
Bin Tsabit dan
memerintahkannya untuk
mengumpulkan Al-Qur’an dalam
satu mushaf.
Zaid Bin Tsabit berkata :
“Mengapa anda berdua ingin
melakukan sesuatu yang tidak
pernah dilakukan oleh
Rasulullah ?” Abu Bakar
menjawab : “Demi Allah, itu
baik”, Abu Bakar terus
membujukku sehingga Allah
membukakan hatiku”.
Maka Zaid Bin Tsabit mulai
bekerja mengumpulkan tulisan
manuskrip Al-Qur’an dengan
sangat teliti dan hati-hati. Zaid
Bin Tsabit meneliti hafalan
pemilik catatan Al-Qur’an dan
mensyaratkan harus ada 2
orang saksi yang menyaksikan
bahwa tulisan manuskrip Al-
Qur’an itu ditulis dihadapan
Rasulullah, padahal Zaid Bin
Tsabit sendiri sudah hafal
seluruh Al-Qur’an diluar kepala.
Dengan kerja keras, teliti dan
hati-hati akhirnya seluruh Al-
Qur’an berhasil dikumpulkan
dalam satu mushaf dengan
“tujuh huruf”.
Setelah Abu Bakar wafat,
Mushaf tersebut disimpan oleh
Khalifah penggantinya yaitu
Umar Bin Khattab. Setelah
Khalifah Umar meninggal,
Mushaf tersebut disimpan oleh
Hafsah Binti Umar.
C. Masa Khalifah Usman Bin
Affan ra.
Pada masa pemerintahan
Khalifah Abu Bakar dan Umar
kaum muslimin telah melakukan
penaklukan ke negeri-negeri
diluar jazirah Arab seperti, Syam,
Iraq, Persia dan Mesir. Pada masa
Khalifah Usman penaklukan
masih terus berlangsung.
Ketika terjadi perang
penaklukan Armenia dan
Azerbaijan, diantara mujahidin
yang ikut menyerbu itu adalah
sahabat nabi Huzaifah Bin Al-
Yaman. Beliau melihat banyak
perbedaan diantara pasukan
kaum muslimin dalam cara-cara
membaca Al-Qur’an. Sebagian
bacaan itu bercampur dengan
kesalahan, tetapi masing-masing
mempertahankan dan
bersikukuh berpegang pada
bacaannya masing-masing dan
bahkan sempat saling berselisih
dan saling mengkafirkan.
Riwayat dari Anas, Huzaifah
berkata kepada Usman :
“Selamatkanlah umat ini
sebelum mereka terlibat dalam
perselisihan (masalah kitab suci)
sebagaimana perselisihan
orang-orang Yahudi dan
Nasrani”.
Atsar dari Abu Qalabah berkata :
“Pada masa kekhalifahan Usman
telah terjadi seorang guru qiraat
mengajarkan qiraat kepada
seseorang dan guru yang lain
juga mengajarkan qiraat yang
berbeda kepada anak yang lain.
Dua kelompok anak-anak yang
belajar qiraat ini pada suatu
ketika bertemu dan berselisih
dan hal itu menjalar juga sampai
kepada guru-guru mereka”. Hal
itu akhirnya sampai terdengar
kepada Khalifah Usman, maka ia
berpidato : “Kalian yang ada
dihadapanku teah berselisih
paham dan salah dalam
membaca Al-Qur’an. Penduduk
yang jauh dari kami tentu lebih
besar lagi perselisihan dan
kesalahannya. Bersatulah wahai
sahabat-sahabat Muhammad,
tulislah untuk semua orang satu
imam (mushaf pedoman) saja !”.
Khalifah Usman kemudian
meminjam mushaf yang ada
pada Hafsah binti Umar dan
memerintahkan Zaid bin Tsabit,
Abdullah Bin Zubair, Sa’id Bin
Ash dan Abdurrahman Bin Haris
untuk menyalinnya. Usman
berkata kepada ketiga orang
Quraisy itu : “Bila kalian
berselisih pendapat dengan Zaid
Bin Tsabit tentang sesuatu dari
Al-Qur’an, maka tulislah dengan
logat Quraisy, karena Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa
Quraisy”. Merekapun bekerja
menyalin Mushaf Abu Bakar
menjadi beberapa mushaf.
Setelah mereka selesai
menyalinnya menjadi beberapa
mushaf, Khalifah Usman
mengembalikan mushaf asli
kepada Hafsah. Selanjutnya
Khalifah Usman mengirimkan
kesetiap wilayah, masing-
masing satu mushaf dan
memerintahkan agar semua
manuskrip Al-Qur’an yang
lainnya dibakar.
Ketika penyalinan mushaf telah
selesai, Khalifah Usman menulis
surat kepada semua penduduk
daerah yang isinya : “Aku telah
melakukan yang demikian dan
demikian. Aku telah menghapus
apa yang ada padaku, maka
hapuskanlah apa yang ada
padamu”.
Uraian diatas menunjukkan
bahwa penyalinan mushaf pada
masa Khalifah Usman ditulis
dengan “satu huruf” yaitu
sesuai dengan dialek Quraisy
dan meninggalkan “enam
huruf” yang lainnya, hal itu
untuk keseragaman dan
menghindari perselisihan.
Mushaf Usmani inilah yang
kemudian dinukil turun temurun
secara mutawatir sampai
kepada kita sekarang ini.
Tertib Ayat dan Surah
Tertib susunan ayat Al-Qur’an
menurut jumhur adalah taufiqi
(ketentuan dari Allah) bukan
ijtihadi Rasulullah atau para
penyusun Mushaf Al Qur’an. As
Suyuthi berkata : “Jibril
menurunkan beberapa ayat
kepada Rasulullah dan
menunjukkan kepadanya
tempat dimana ayat-ayat itu
harus diletakkan dalam surah
atau ayat-ayat yang turun
sebelumnya. Lalu Rasulullah
memerintahkan kepada para
penulis wahyu untuk
menuliskannya di tempat
tersebut. Beliau mengatakan
kepada mereka : “Letakkanlah
ayat-ayat ini pada surah yang
didalamnya disebutkan begini
dan begini,” atau “Letakkanlah
ayat ini ditempat anu.”
Mengenai tertib susunan surah,
beberapa sahabat nabi ada yang
mempunyai mushaf pribadi
yang berbeda tertib susunan
surahnya dengan tertib surah
mushaf Usmani. Mushaf Ali
disusun berdasarkan urutan
nuzulnya, Mushaf Ibnu Mas’ud
dimulai dari surah Al-Baqarah
tanpa surah Al-Falaq dan An-
Naas. Mushaf Ubay Bin Ka’ab
dimulai Al-Fatihah, An-Nisa’
kemudian Ali-‘Imran, namun
demikian Mushaf pribadi
sebagian sahabat tersebut tidak
dapat dijadikan pedoman.
Tertib susunan surah yang
disepakati dan umat sudah
Ijma’ (sepakat) adalah tertib
susunan surah mushaf Usman
yang dikerjakan secara resmi
oleh panitia khusus yang terdiri
dari beberapa sahabat nabi
pilihan. Tentang tertib susunan
surah Al-Qur’an, jumhur ulama
mengatakan bahwa tertib
susunannya adalah taufiqi.
Al-Kirmani dalam kitab Al-
Burhan mengatakan : “Tertib
surah seperti yang kita kenal
sekarang ini adalah menurut
Allah pada Lauhful Mahfud, Al-
Qur’an sudah menurut tertib ini.
Dan menurut tertib ini pula Nabi
membacakan dihadapan
Malakikat Jibril setiap tahun di
bulan Ramadhan apa yang telah
dikumpulkannya dari Jibril itu.
Pada tahun ke wafatannya Nabi
membacakannya dihadapan
Jibril dua kali.
As-Suyuthi mengatakan tertib
susunan surah Al-Qur’an itu
taufiqi kecuali surah Al-Anfal
dan At-Taubah, berdasarkan
riwayat Ibnu Abbas : “Aku
bertanya kepada Usman :
‘Apakah yang mendorongmu
mengambil Anfal yang termasuk
katagori masani dan Bara’ah
(At-Taubah) yang termasuk
mi’in untuk kamu gabungkan
keduanya menjadi satu tanpa
kamu tuliskan diantara
keduanya
Bismillahirrahmaanirrahim, dan
kamu pun meletakaannya pada
as-sab’ut tiwal (tujuh surat
panjang) ?’, Usman menjawab :
‘Telah turun kepada Rasulullah
surah-surah yang yang
mempunyai bilangan ayat.
Apabila ada ayat turun
kepadanya, ia panggil beberapa
penulis wahyu dan
mengatakan : ‘Letakkanlah ayat
ini pada surah yang didalamnya
terdapat ayat anu dan anu.’
Surah Anfal termasuk surah
pertama yang turun di Madinah
sedang surah Bara’ah termasuk
yang terakhir diturunkan. Kisah
dalam surah Anfal serupa
dengan kisah dalam surah
Bara’ah, sehingga aku
mengirabahwa surah Bara’ah
adalah bagian dari surah Anfal.
Dan sampai wafatnya Rasulullah
tidak menjelaskan kepada kami
bahwa surah Bara’ah
merupakan bagian dari surah
Anfal. Oleh karena itu, kedua
surah tersebut aku gabungkan
dan diantara keduanya tidak
aku tuliskan
Bismillahirrahmaanirrahim sera
aku meletakkan pula pada as-
sab’ut tiwal.
Surah-surah dan ayat-ayat Al-
Qur’an
1. At-Tiwal : adalah tujuh surat
awal yang panjang-panjang
yaitu : Al-Baqarah, Ali ‘Imran,
An-Nisa’, Al-Maidah, Al-An’am, Al-
A’raf , ketujuh : Al-Anfal dan At-
Taubah sekaligus, sebagian ada
yang mengatakan yang ke-tujuh
surah Yunus.
2. Al-Mi’un : yaitu surah-surah
yang ayat-ayatnya lebih dari
seratur atau sekitar itu.
3. Al-Masani : yaitu surah-surah
yang jumlah ayatnya dibawah
Al-Mi’un. Dinamakan Masani,
karena surah itu diulang-ulang
bacaannya lebih bnayak dari At-
Tiwal dan Al-Mi’un.
4. Al-Mufassal : yaitu surah yang
dimulai dari surah Qaf, ada pula
yang mengatakan dimulai dari
surah Hujarat. Dinamai Mufassal
karena banyaknya pemisahan
fasl (pemisahan) dinatara surah-
surah tersebut dengan
basmallah. Mufassal dibagi
menjadi tiga :
a. Mufassal Tiwal : dimulai dari
surah Qaf atau hujurat sampai
dengan ‘Amma atau Buruj.
b. Mufassal Ausat : dimulai dari
‘Amma atau Buruj sampai
dengan Duha atau Lam Yakun.
c. Mufassal qisar : dimulai dari
Duha atau Lam Yakun sampai
dengan surah terakhir (An-
Naas).
Rasm Usmani
Yang dimaksud dengan rasm
Usmani adalah bentuk tulisan
(khot) Al-Qur’an hasil kerja
beberapa sahabat Nabi pilihan
dalam suatu panitia penyalin
mushaf Al-Qur’an yang diketuai
oleh Zaid Bin Tsabit atas
penunjukan Khalifah Usman.
Mengenai penulisan Al-Qur’an
dengan rasm Usmani ini ada
beberapa pendapat :
1. Rasm (bentuk tulisan) dalam
mushaf Usmani adalah taufiqi
yang wajib dipakai dalam
penulisan Al-Qur’an. Ini
pendapat Ibnul Mubarak dan
gurunya Abdul Azis ad-Dabbag.
2. Rasm Usmani bukan taufiqi,
tapi cara penulisan yang
diterima dan menjadi Ijma’ umat
dan wajib menjadi pegangan
seluruh umat dan tidak boleh
menyalahinya.
3. Rasm Usmani hanyalah istilah
dan tatacara. Tidak ada dalil
agama yang mewajibkan umat
mengikuti satu rasm tertentu
dan tidak ada salahnya jika
menyalahi bila orang telah
mempergunakan rasm tertentu
untuk imla dan rasm itu tersiar
luas diantara mereka. Ini adalah
pendapat Abu Bakar Al-Baqalani.
Jumhur ulama, diantaranya
Imam Malik, Imam Ahmad
melarang penulisan Al-Qur’an
yang menyalahi rasm Usmani.
I’jam (penambahan tanda titik,
dll) Rasm Usmani
Mushaf Usmani tidak memakai
tanda baca titik dan syakal,
karena semata-mata didasarkan
pada watak pembawaan orang-
orang Arab yang masih murni,
sehingga tidak memerlukan
syakal, harokat dan titik. Ketika
Islam sudah menyebar keluar
jazirah Arab dan bahasa Arab
mulai mengalami kerusakan
karena banyaknya percampuran
dengan bahasa non Arab, maka
para penguasa merasa
pentingnya ada perbaikan
penulisan mushaf dengan
syakal, titik, harokat dan lain lain
yang dapat membantu
pembacaan yang benar. Banyak
ulama berpendapat bahwa
orang pertama yang melakukan
hal ini adalah Abul Aswad Ad-
Du’ali, peletak pertama dasar-
dasar kaidah bahasa Arab atas
petunjuk Khalifah Ali Bin Abi
Thalib.
Perbaikan rasm Usmani berjalan
secara bertahap. Pada mulanya
syakal berupa titik : fathah
berupa satu titik diatas awal
huruf, dammah berupa satu titik
diatas akhir huruf dan kasrah
berupa satu titik dibawah awal
huruf. Kemudian terjadi
perubahan penentuan harakat
yang berasal dari huruf dan
itulah yang dilakukan oleh Al-
Khalil. Perubahan itu adalah
fathah adalah dengan tanda
sempang diatas huruf, dammah
dengan wawu kecil diatas huruf
dan tanwin dengan tambahan
tanda serupa (double). Alif yang
dihilangkan dan diganti, pada
tempatnya dituliskan dengan
warna merah. Hamzah yang
dihilangkan dituliskan berupa
hamzah dengan warna merah
tanpa huruf. Pada nun dan
tanwin sebelum huruf ba diberi
tanda iqlab berwarna merah.
Sedang nun dan tanwin sebelum
huruf tekak (halaq) diberi tanda
sukun dengan warna merah.
Nun dan tanwain tidak diberi
tanda apa apa ketika idgam dan
ikkhfa’. Setiap huruf yang harus
dibaca sukun (mati) diberi tanda
sukun dan huruf yang di-idgam-
kan tidak diberi tanda sukun
tetapi huruf sesudahnya diberi
tanda syaddah; keculai huruf ta
sebelum ta, maka sukun tetap
dituliskan.
Para ulama pada mulanya tidak
menyukai usaha perbaikan
tersebut karena khawatir akan
terjadi penambahan dalam Al-
Qur’an, berdasarkan ucapan
Ibnu Mas’ud : “Bersihkan Al-
Qur’an dan jangan
dicampuradukkan dengan
apapun”. Al-Halimi mengatakan :
“Makruh menuliskan perpuluhan,
perlimaan, nama-nama surah
dan bilangan ayat dalam
mushaf” sedangkan pemberian
titik diperbolehkan karena titik
tidak mempunyai bentuk yang
mengacaukan antara yang Al-
Qur’an dengan yang bukan Al-
Qur’an. Titik merupakan
petunjuk atas keadaan sebuah
huruf yang dibaca sehingga
dibolehkan untuk
mempermudah pembacaan.
Kemudian akhirnya itu sampai
kepada hukum boleh dan
bahkan anjuran. Al Hasan dan
Ibnu Sirin keduanya
mengatakan : “Tidak ada
salahnya memberikan titik pada
mushaf”. Rabiah Bin Abi
Abdurrahman mengatakan :
“Tidak mengapa memberi syakal
pada mushaf”. An-Nawawi
mengatakan : “Pemberian titik
dan pensyakalan mushaf itu
dianjurkan (mustahab), karena
ia dapat menjaga mushaf daru
kesalahan dan penyimpangan
(pembacaan)”. Penyempurnaan
itu terus berlanjut hingga kini
telah mencapai puncaknya
dalam bentuk tulisan Arab (Al-
Khattul Araby).
Al-Qur’an Dengan Tujuh Huruf
Nash-nash sunah cukup banyak
yang mengemukakan hadis
mengenai turunnya Al-Qur’an
dengan tujuh huruf,
diantaranya :
Dari Ibnu Abbas : “Rasulullah
berkata : ‘Jibril membacakan (Al-
Qur’an) kepadaku dengan satu
huruf. Kemudian berulang kali
aku mendesak dan meminta
agar huruf itu ditambah dan ia
pun menambahnya kepadaku
sampai tujuh huruf’”.
Dari Ubay Bin Ka’ab : “Ketika
Nabi berada di dekat parit Bani
Gafar, ia didatangi Jibril seraya
mengatakan : ‘Allah
memerintahkanmu agar
membacakan Al-Qur’an kepada
umatmu dengan satu huruf.’
Beliau menjawab : ‘Aku
memohon kepada Allah
ampunan dan maghfirallah-Nya,
karena umatku tidak dapat
melaksanakan perintah itu.’
Kemudian Jibril datang lagi
untuk kedua kalinya dan
berkata : ‘Allah
memerintahkanmu agar
membacakan Al-Qur’an kepada
umatmu dengan dua huruf.’
Nabi menjawab : ‘Aku memohon
kepada Allah ampunan dan
maghfirah-Nya, umatku tidak
kuat melaksanakannya.’ Jibril
datang lagi untuk yang ketiga
kalinya, lalu mengatakan : ‘Allah
memerintahkanmu agar
membacakan Al-Qur’an kepada
umatmu dengan tiga huruf.’
Nabi menjawab : ‘Aku memohon
kepada Allah ampunan dan
maghfirah-Nya, umatku tidak
kuat melaksanakannya.’
Kemudian Jibril datang lagi
untuk yang keempat kalinya
seraya berkata : ‘Allah
memerintahkanmu agar
membacakan Al-Qur’an kepada
umatmu dengan tujuh huruf,
dengan huruf mana saja mereka
membaca, mereka benar.’”
Hadis-hadis berkenaan dengan
Al-Qur’an dengan tujuh huruf
sangat banyak. As-Suyuthi
menyebutkan bahwa hadits-
hadits tersebut diriwayatkan
oleh lebih dari dua puluh orang
sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin
Salam menetapkan
kemutawatiran hadis mengenai
Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Perbedaan pendapat tentang
pengertian tujuh huruf,
diantaranya :
1. Tujuh macam bahasa dari
bahasa-bahasa Arab mengenai
satu makna yang sama, yaitu
bahasa suku Quraisy, Huzail,
Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim
dan Yaman. Sebagian
memasukkan Asad, Rabi’ah, Sa’d.
Pendapat ini maksudnya satu
kata boleh dibaca berbeda
menurut dialek masing-masing
kabilah diatas selama maknanya
masih tetap sama.
2. Tujuh macam bahasa dari
bahasa-bahasa Arab dengan
mana Al-Qur’an diturunkan,
yaitu : Quraisy, Huzail, Saqif,
Hawasin, Kinanah, Tamim dan
Yaman. Bedanya dengan yang
pendapat pertama adalah
bahasa Al-Qur’an mencakup dari
tujuh bahasa diatas yang paling
fasih dan berterbaran di seluruh
Al-Qur’an
3. Tujuh wajah, yaitu : amr
(perintah), hanyu (larangan),
wa’d (janji), wa’id (ancaman),
jadal (perdebatan), qasas
(cerita) dan amsal
(perumpamaan)
4. Tujuh macam hal yang
didalamnya terjadi ikhtilaf
(perbedaan), yaitu ikhtilaf
dalam : asma’ (kata benda), i’rab
(harakat akhir kata), tasrif,
taqdim (mendahulukan), ibdal
(penggantian), penambahan-
pengurangan dan lahjah (tebal-
tipis, imalah-tidak imalah, idhar
dan idgam).
5. Qiraat Tujuh.
Pendapat pertama adalah
pendapat yang paling kuat dan
banyak diikuti oleh jumhur
ulama.
Hikmah Al-Qur’an dengan tujuh
huruf :
1. Memudahkan bacaan dan
hafalan bagi bangsa yang ummi,
tidak bisa baca tulis, yang setiap
kabilah mempunyai dialek
masing-masing.
2. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an
bagi naluri atau watak dasar
kebahasaan orang Arab yang
mana seluruh orang Arab pada
khususnya ditantang untuk
membuat satu surah saja yang
seperti Al-Qur’an, ternyata
seluruh orang Arab tidak
mampu membuatnya.
3. Perbedaan bentuk lafaz pada
sebagian huruf dan kata-kata
memberi peluang penyimpulan
hukum yang berbeda. Para
fukaha dalam menyimpulkan
hukumdan ijtihad ber hujjah
dengan qiraat bagi ketujuh
huruf ini.