Rabu, 14 Desember 2011

ASBABUN NUZUL (sebab sebab ayat turun)

XI. Asbabun Nuzul (sebab-
sebab turunnya ayat)
Turunnya ayat Al-Qur’an dibagi
menjadi dua macam :
1. Tanpa sebab khusus (ibtida’).
2. Dilatarbelakangi oleh suatu
peristiwa atau adanya
pertanyaan.
Untuk mengetahui asbabun
nuzul satu-satunya cara adalah
melalui riwayat yang
dinyatakan oleh para sahabat
Nabi. Merekalah orang-orang
yang mengerti betul kapan,
dimana, kepada siapa dan dalam
konteks apa Al-Qur’an
diturunkan. Walaupun demikian
tidak semua riwayat dinyatakan
oleh para sahabat mengenai
turunnya Al-Qur’an tersebut
dikonotasikan asbabun nuzul.
Adapun mengenai riwayat yang
berkaitan dengan asbabun
nuzul :
1. Jika ada sahabat yang
mengatakan : “Sebab turunnya
ayat ini adalah …. “
2. Jika sahabat menceritakan
adanya sebuah pertanyaan
yang kemudian turun ayat
sebagai jawaban atau reaksi
dari pertanyaan tersebut.
3. Jika ada indikasi yang kuat
(rajih) menunjukkan asbabun
nuzul, contoh :
“Rasulullah telah ditanya
tentang ini, maka turunlah ayat
….”
4. Jika ada pernyataan sahabat :
“Ayat ini diturunkan dalam
konteks …..”
Maka itu bisa menunjukkan
asbabun nuzul bisa
menunjukkan penjelasan /
penafsiran sahabat terhadap
suatu ayat, jadi masih perlu
diteliti.
Bila ada perbedaan riwayat
mengenai asababun nuzul suatu
ayat maka harus diteliti untuk
dipilih mana yang paling kuat
(ditarjih) atau kalau masih
mungkin dikompromikan.
Contoh study asbabun nuzul :
Firman Allah dalam QS Al-
Baqarah [2] : 195 :
“Dan belanjakanlah (harta
bendamu) dijalan Allah dan
janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri kedalam
kebinasaan dan berbuat baiklah,
karena sesungghuhnya Allah
menyukai orang-orang yang
berbuat baik.”
Ibnul Araby mengatakan, ada
lima pendapat menafsirkan At-
Tahlukah (kebinasaan), yaitu :
1. Janganlah engkau
meninggalkan pemberian
nafkah.
2. Janganlah engkau berjihad
tanpa perbekalan.
3. Janganlah engkau
meninggalkan jihad.
4. Janganlah engkau
menggempur pasukan
sedangkan engkau tidak
mempunyai kekuatan untuk
menyerangnya.
5. Janganlah engkau putus asa
dari ampunan Allah (karena
merasa sudah terlalu banyak
dosa).
Imam Ath-Thabari mengatakan :
“Maknanya umum mencakup
semuanya, tidak kontradiktif
satu dengan yang lain”
Imam Syaukani mengatakan :
“Yang dijadikan pegangan
adalah keumuman lafazh bukan
pada kekhususan sebab
(turunnya ayat).”
Maka perlu disampaikan salah
satu riwayat (atsar) yang
menjelaskan asbabun nuzulnya
ayat tersebut, yaitu riwayat
Imam At-Tirmidzi dari Yazid bin
Abi Habib dari Aslam Abi Imran :
“Waktu kami berada di negeri
Romawi (Konstantinopel)
sekelompok pasukan Romawi
menghadang kami, maka kaum
muslimin menyambut mereka
dengan pasukan sejumlah
mereka atau lebih banyak.
Legiun Mesir dibawah komando
Uqbah bin Amir dan pasukan
lain yang dipimpin Fadhalah bin
Ubaid. Seorang tentara kaum
muslimin menerjang barisan
pasukan Romawi sendirian,
melihat itu banyak yang
berteriak, ‘Subhanallah ia
menjerumuskan dirinya menuju
kebinasaan.’ Mendengar itu Abu
Ayyub Al-Anshari (salah seorang
sahabat Nabi) berkata : “Wahai
saudara-saudara, kalian
memehami ayat ini dengan
penakwilan seperti itu ?
Ketahuilah, bahwa ayat ini
turun kepada kami kaum
Anshar. Ketika Allah memberikan
izzah (kejayaan) kepada Islam
dan memperbanyak penolong-
penolongnya, sebagian kami
(kaum Anshar) saling berkata
secara sembunyi-sembunyi
tanpa diketahui Rasulullah SAW,
‘Ketahuilah, bahwa harta kita
sudah habis dan Allah telah
memberikan kejayaan kepada
Islam dan memperbanyak
pendukungnya, apakah tidak
lebih baik kita untuk konsentrasi
pada harta kita dan kita dapat
mengembalikan harta kita yang
hilang. Maka Allah kemudian
menurunkan ayat ini (QS Al-
Baqarah [2] : 195) kepada
NabiNya sebagai jawaban
kepada kami, arti dari At-
Tahlukah (kebinasaan) adalah
konsentrasi terhadap harta
(niaga, berkebun) dan
pemanfaatannya (berfoya-
foya) yang berakibat
meninggalkan perang (jihad).’
Abu Ayyub Al-Anshari
senantiasa berjihad fisabilillah
sampai beliau dikebumikan di
tanah Romawi (Konstantinopel),
kuburan beliau ada disana.” (HR
Tirmidzi, Abu Dawud dan
Ahmad, lafazh diatas adalah
yang terdapat pada riwayat
Tirmidzi).
Walaupun ada kaidah “Yang jadi
pegangan adalah keumuman
lafazh bukan pada kekhususan
sebab” paling tidak dari riwayat
diatas setidaknya dapat
membantu penafsiran yang
lebih spesifik yaitu : Janganlah
kamu menghentikan ber infaq
membelanjakan harta dijalan
Allah dan janganlah kamu
meninggalkan jihad fisabilillah
yang dapat menyebabkan kamu
binasa yaitu lemah dan atau
dikuasai musuh.
Manfaat mengetahui asbabun
nuzul :
1. Mengkhususkan hukum
dengan sebab turunnya ayat
hukum..
2. Menghilangkan kaburnya
pembatas (hashr) atas apa yang
lahirnya menunjukkan
pembatasan
3. Mengetahui hikmah
disyariatkannya hukum.
4. Mengetahui latar belakang
disyariatkannya hukum
5. Mengetahui tentang siapa
ayat tersebut diturunkan, dan
tidak diterapkan kepada orang
lain yang tidak semestinya.
Contoh : Ketika Marwam bin
hakam menjabat Gubernur Hijaz
(Mekkah-Madinah) pada
pemerintahan Muawiyah bin
Abu Sofyan, Marwan berpidato
yang intinya mengajak
penduduk Hijaz membaiat Yazid
bin Muawiyah sebagai Khalifah
sepeninggal ayahnya, Marwan
berkata : “ini adalah sunah Abu
Bakar dan Umar”. Tiba-tiba
Abdurrahman bin Abu Bakar
menyahuti : “Itu sunnah Kisra
(Persia) dan Kaisar (Romawi)”
seraya pergi ke rumah Aisyah
(kakaknya). Maka Marwan
berkata : “Itulah orang yang
dikatakan dalam Al-Qur’an, ‘Dan
janganlah kamu berkata kepada
ibu-bapaknya : ‘Cis, bagi kamu
berdua’ “. Perkataan Marwan itu
sampai kepada Aisyah, maka
Aisyah membantah dan
berkata : “Marwan berdusta,
Demi Allah, maksud ayat itu
tidaklah demikian, Sekiranya aku
mau menyebutkan mengenai
siapa ayat itu turun, tentulah
aku sudah menyebutkannya.”