Kamis, 17 November 2011

IMAN HIJRAH DAN JIHAD

QS:9/AT-Taubah :20
ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻭَﻫَﺎﺟَﺮُﻭﺍ ﻭَﺟَﺎﻫَﺪُﻭﺍ ﻓِﻲ
ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑِﺄَﻣْﻮَﺍﻟِﻬِﻢْ ﻭَﺃَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ ﺃَﻋْﻈَﻢُ
ﺩَﺭَﺟَﺔً ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻔَﺎﺋِﺰُﻭﻥَ
20. orang-orang yang beriman
dan berhijrah serta berjihad di
jalan Allah dengan harta, benda
dan diri mereka, adalah lebih
tinggi derajatnya di sisi Allah;
dan itulah orang-orang yang
mendapat kemenangan.
QS al-Baqarah [2]: 218
ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻫَﺎﺟَﺮُﻭﺍ
ﻭَﺟَﺎﻫَﺪُﻭﺍ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻳَﺮْﺟُﻮﻥَ
ﺭَﺣْﻤَﺔَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﻏَﻔُﻮﺭٌ ﺭَﺣِﻴﻢٌ
218. Sesungguhnya orang-orang
yang beriman serta orang-orang
yang berhijrah dan berjihad di
jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah.
Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang ().
Uraian singkatnya yang pertama
adalah bahwa semua manusia
dari berbagai agama atau
kepercayaan pasti punya Iman
terhadap Tuhan, Iman inilah
yang mengatur kehidupan
manusia, Iman bisa berubah
setiap saat bisa menguat dan
bisa melemah. Jika Iman
menguat maka manusia akan
selalu ingat bahwa semua
perbuatannya diawasi oleh
Tuhan, sehingga manusia
cenderung melakukan hal-hal
yang baik dan positif, sebaliknya
jika Iman melemah manusia akan
cenderung melakukan hal-hal
yang jelek dan negatif. Maka jika
ingin manusia berkualitas harus
tetap menjaga Iman agar tetap
kuat.
Kedua, Hijrah artinya berpindah
atau berubah yang mengandung
arti bahwa manusia yang
berkualitas harus selalu
mengalami perubahan dari yang
jelek menjadi baik dan dari baik
menjadi lebih baik. Contoh
sederhana dalam kehidupan
pemerintahan, jika ada
perubahan peraturan maka kita
harus mengikutinya, itu
namanya Hijrah. Bekerja dan
selalu berusaha mencari yang
lebih baik, itu namanya Hijrah.
Maka maaf, jika seseorang yang
selalu mengikuti kebiasaan lama,
itu namanya belum Hijrah.
Ketiga adalah Jihad artinya
berjuang melakukan kegiatan
yang lebih dari batasan standar.
Seeorang yang berkualitas selalu
melaksanakan kegiatan yang
lebih dari batasan standar yang
telah ditetapkan. Contohnya,
bagi umat muslim sehari
diwajibkan melaksanakan shalat
5 waktu, maka maaf jika hanya
baru melaksanakan kewajiban
tersebut berarti belum disebut
Jihad. Maka jika ingin
dikategorikan Jihad maka harus
menambah dengan shalat-shalat
sunat. Begitupun jika seseorang
dalam bekerja hanya baru bisa
menyelesaikan tugas atau
sasaran atau target yang telah
ditetapkan, maka itu belum Jihad
namanya. Kalau ingin
melaksanakan Jihad, hasil kerja
kita harus melebihi tugas atau
sasaran atau target yang telah
ditetapkan.*
*sumber :http://
edisw.wordpress.com/2009/09/28/
iman-hijrah-dan-jihad/
Tafsir Ayat QS (2):218
Allah Swt. berfirman: Inna al-
ladzîna âmanû (Sesungguhnya
orang-orang yang beriman).
Ayat ini diawali dengan
penyebutan orang-orang yang
beriman. Secara bahasa, kata al-
îmân berarti at-tashdîq
(membenarkan).2 Secara syar’i,
al-îmân adalah at-tashdîq al-
jâzim al-muthâbiq li al-wâqi’ ‘an
dalîl (pembenaran yang pasti,
sesuai dengan kenyataan,
bersumber dari dalil).3 Karena
itu, frasa al-ladzîna âmanû
menunjuk kepada orang-orang
yang memiliki sifat iman itu.
Sebenarnya, kata âmanû
tergolong sebagai al-fi’l al-
muta’addî (kata kerja yang
membutuhkan mafûl bih atau
obyek). Ketika obyeknya tidak
disebutkan, maka dapat
dipahami bahwa keimanan
mereka bersifat mutlak. Perkara
yang mereka imani meliputi
semua perkara akidah yang
wajib diimani. Jika ada sebagian
perkara akidah yang diingkari,
mereka tidak lagi disebut
sebagai al-ladzîna âmanû
(orang-orang yang beriman).
Sebab, dalam QS an-Nisa’ [4]:
150-151 ditegaskan, orang-
orang yang menyatakan
beriman terhadap sebagian dan
ingkar terhadap sebagian
lainnya adalah orang-orang kafir
yang sebenar-benarnya (al-
kâfirûna haqq[an]).
Di samping beriman, mereka
juga berhijrah. Allah Swt.
berfirman: wa al-ladzîna hâjarû
(orang-orang yang berhijrah).
Dijelaskan al-Baidhawi,
pengulangan ism al-mawshûl di
sini menunjukkan keagungan
hijrah dan jihad sehingga seolah
secara mandiri dapat
merealisasikan ar-rajâ’ (harapan).
Menurut al-Qurthubi dan asy-
Syaukani, al-hijrah bermakna al-
intiqâl min mawdhû’[in] ilâ
mawdhû’[in], wa taraka al-
awwal li îtsâr ats-tsânî
(berpindah dari suatu keadaan
ke keadaan lain dan
meninggalkan yang pertama
karena mengutamakan yang
kedua). Ibnu Manzhur juga
menyatakan bahwa hijrah
berarti al-khurûj min ardh ilâ
ardh (keluar dari suatu negeri ke
negeri lainnya).
Adapun secara syar’i, hijrah
berarti al-khurûj min dâr al-kufr
ilâ dâr al-Islâm (keluar dari
negara kufur ke Negara Islam).
Di antara dalil yang
melandasinya adalah Hadis Nabi
saw.:
ﻻَ ﻫِﺠْﺮَﺓَ ﺑَﻌْﺪَ ﻓَﺘْﺢِ ﻣَﻜَّﺔَ
Tidak ada hijrah setelah
Penaklukan Makkah (HR al-
Bukhari dari Mujalid bin Mas’ud).
Sebelum ditaklukkan, Makkah
merupakan dâr al-kufr. Saat itu,
perpindahan dari Makkah ke
Madinah disebut sebagai hijrah.
Namun ketika sudah ditaklukkan,
Makkah berubah statusnya
menjadi bagian dari dâr al-Islâm.
Hadis ini menjelaskan, sesudah
penaklukan, perpindahan dari
Makkah ke Madinah tidak lagi
dianggap sebagai hijrah.
Ketentuan ini tidak hanya
berlaku bagi Makkah, namun
juga bagi semua negeri yang
telah ditaklukkan oleh Daulah
Islam. Dalam hadis al-Bukhari
dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar
digunakan ungkapan yang
bersifat umum: Lâ hijrah ba’da
al-fath (tidak ada hijrah sesudah
Penaklukan).
Bertolak dari hadis ini, dapat
disimpulkan bahwa istilah hijrah
menunjuk pada perpindahan
dari dâr al-kufr ke dâr al-Islâm.
Selain itu, mereka juga berjihad
di jalan Allah. Allah Swt.
berfirman: wa jâhadû fî sabîlil-
Lâh (dan berjihad di jalan Allah).
Secara bahasa, kata al-jihâd
berarti mengerahkan segala
kemampuan. Dalam pengertian
syar’i, al-jihâd menunjuk secara
khusus pada makna perang.
Dengan demikian, jihad fi
sabilillah adalah mengerahkan
segala kemampuan dalam
perang di jalan Allah, baik secara
langsung maupun memberikan
bantuan berupa harta, pendapat,
memperbanyak logistik, atau
lainnya.
Ibnu Jarir ath-Thabari pun
memaknai kata jâhadû dalam
ayat ini dengan qâtalû wa
hârabû (mereka berperang).
Dipaparkan ath-Thabari, kata
sabîlil-Lâh berarti tharîqatihi wa
dînihi.
Al-Khazin dan as-Samarqandi
memaknai fî sabîlil-Lâh dengan
fî thâ’atil-Lâh (dalam ketaatan
kepada Allah).
Siapa saja yang mengamalkan
tiga perkara itu bisa
mengharapkan rahmat-Nya.
Allah Swt. berfirman: ulâika
yarjûna rahmatal-Lâh (mereka
itu mengharapkan rahmat Allah).
Menurut az-Zuhaili, yang
dimaksud dengan rahmatal-Lâh
adalah tsawâbahu (pahala-
Nya).12 Adapun kata yarjûna
mengandung pujian terhadap
mereka. Sebab, tidak seorang
pun di dunia yang mengetahui
bahwa dia akan kembali ke
surga meskipun sudah
melakukan ketaatan paling
puncak.13 Menurut al-Qurthubi
dan az-Zuhaili, hal itu disebabkan
karena dua alasan. Pertama: dia
tidak mengetahui bagaimana
akhir kehidupannya. Kedua: agar
dia tidak bersandar pada
amalnya semata.
Penjelasan senada juga
disampaikan Abdurahman as-
Sa’di. Menurutnya, frasa ini
mengisyaratkan bahwa seorang
hamba—sekalipun sudah
melakukan berbagai amal—tidak
seyogyanya bergantung dan
percaya pada amalnya. Akan
tetapi, dia harus berharap akan
rahmat-Nya, diterima semua
amalnya, diampuni semua
dosanya, dan ditutup semua
aibnya.
Masih menurut as-Sa’di, ayat ini
menjadi dalil bahwa ar-rajâ’ atau
harapan itu tidak terjadi kecuali
sesudah mengerjakan sebab-
sebab kebahagiaan. Adapun
harapan yang disertai dengan
kemalasan dan tidak melakukan
sebab-sebab kebahagiaan, maka
itu adalah kelemahan, angan-
angan, dan fatamorgana. Itu
juga menunjukan lemahnya
tekad dan kurangnya akal
pelakunya, seperti halnya
seseorang yang mengharapkan
anak tanpa menikah atau
mendapatkan panen tanpa
menabur benih.
Dijelaskan oleh al-Qurthubi, ar-
rajâ’ (harapan) harus senantiasa
diiringi dengan al-khawf (takut),
sebagaimana al-khawf juga
harus disertai dengan ar-rajâ’.
Lebih dari itu, sebagaimana
dinyatakan asy-Syaukani,
kadangkala kata ar-rajâ’ juga
bermakna al-khawf, seperti
dalam QS Nuh [71]: 13. Kata lâ
tarjûna dalam ayat tersebut
bermakna lâ takhâfûna (mereka
tidak takut) akan kebesaran
Allah.
Ayat ini kemudian diakhiri
dengan firman-Nya: Wal-Lâh
Ghafûr[un] Rahîm[un] (Allah
Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang). Allah Ghafûr,
mengampuni dosa-dosa dan
kesalahan hamba-Nya apabila
mereka mati dalam keadaan
iman. Allah Rahîm, memberikan
rahmat-Nya yang tak terbatas
kepada hamba-Nya.
Ayat ini juga menjadi dalil, siapa
pun yang melakukan ketiga amal
tersebut akan mendapatkan
ampunan dari-Nya, selain
mendapatkan rahmat-Nya.
Ketika mendapatkan maghfirah
berarti dia tidak akan ditimpa
hukuman di dunia maupun di
akhirat. Tatkala mendapatkan
rahmat, maka dia memperoleh
segala kebaikan di dunia dan
akhirat.