Senin, 19 Desember 2011

NASIKH - MANSUKH

XIII. Nasikh – Mansukh
Nasikh adalah penghapusan
lafazh atau hukum suatu nash
syara’, sedangkan mansukh
adalah nash syara’ yang dihapus
lafazh atau hukumya.
Firman Allah dalam QS Al-
Baqarah [2] : 106 :
“Apa saja ayat-ayat yang kami
nasakh, atau kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik
daripadanya, atau kami
datangkan yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu”.
Macam-macam naskh dalam Al-
Qur’an :
1. Naskh lafaz dan hukum.
Riwayat Ismail bin Ahmad dari
Abu Umamah bin Sahl bin Hanif,
bahwa telah ada sekelompok
orang sahabat Nabi yang
memberitahu dia tentang
seorang laki-laki diantara
mereka yang tidak tidur pada
tengah malam. Dia bermaksud
untuk membuka catatan sebuah
surah yang sebelumnya dia
hafal. Ternyata dia tidak
menjumpai tulisan surah itu
kecuali hanya tulisan
“Bismillahirrahmanirrahim”.
Maka pada keesokan harinya dia
datang ke rumah Nabi untuk
menanyakan hal tersebut.
Ternyata ada juga beberapa
orang yang datang kepada Nabi
sehingga mereka berkumpul
menjadi beberapa orang. Mereka
saling menanyakan antara yang
satu dengan yang lain. Mereka
juga saling menceritakan
pengalaman yang dialami
masing-masing tentang tulisan
surat yang tiba-tiba hilang.
Beberapa saat kemudian Nabi
menerima mereka dan
mendengarkan penuturan
mereka. Kemudian Nabi terdiam
sejenak, setelah itu beliau
bersabda : “Tadi malam surat
tersebut telah di nasakh. Maka
hafalan surah itupun dinasakh
dari dada mereka (yang telah
hafal) dan juga dari benda
apapun yang mengabadikan
rasm (tulisan) surah tersebut”.
Riwayat dari Ibnu Mas’ud :
“Telah diturunkan sebuah ayat
Al-Qur’an kepada Rasulullah saw.
sehingga saya mencatatnya
didalam mushafku. Namun pada
suatu malam ternyata
permukaan mushaf itu hanya
berwarna putih (hilang
tulisannya), maka saya
menceritakan hal tersebut
kepada Nabi, ternyata beliau
bersabda : “Tidakkah kamu tahu
bahwa ayat tersebut telah
diangkat (dinasakh) tadi
malam”.
Muslim meriwayatkan dari
Aisyah : “Diantara yang
diturunkan kepada beliau (Nabi)
adalah ‘sepuluh susuan yang
maklum itu menyebabkan
muhrim”. Lafazh Ayat tersebut
telah dinasakh dengan ayat
“Lima susuan yang maklum”.
Jadi lafazh ‘Sepuluh susuan’
telah dinasakh dengan ayat lain
yang ber lafazh ‘Lima susuan’.
Demikian juga hukum lima
susuan telah menasakh hukum
sepuluh susuan yang
menyebabkan menjadi muhrim.
2. Naskh lafaz sedang
hukumnya tetap.
Yaitu lafazh ayat dihapus dari
mushaf, tapi hukumnya tetap
berlaku. Contohnya tentang
hukum rajam bagi pezina
muhson.
Riwayat dari Said bin Al-
Musayyab : “bahwa Umar bin
Khattab telah berkata : “…
Mengenai ayat tentang rajam,
maka janganlah sampai kalian
tidak mengetahuinya, karena
sesungguhnya Rasulullah saw.
telah menerapkan hukuman
rajam, begitu juga dengan kami,
kami telah mempraktekkannya.
Ayat tentang rajam itu benar-
benar telah diturunkan. Ayat
rajam yang kami baca, “Orang
tua laki-laki dan orang tua
perempuan (maksudnya yang
sudah menikah) jika sampai
melakukan perbuatan zina, maka
rajamlah keduanya dengan
pasti”. Kalau bukan karena
khawatir orang-orang akan
mengatakan Umar telah
menambahkan sebuah ayat
dalam kitab Allah, pasti saya
telah menulis ayat itu dengan
tanganku sendiri (dalam mushaf
Al-Qur’an)””.
3. Naskh hukum sedang
lafaznya tetap.
Yaitu lafazh ayat yang dihapus
(mansukh) masih tetap ada
dalam mushaf, tapi hukumnya
telah dihapus oleh ayat yang
menghapusnya (nasikh). Ulama
terdahulu (abad 1 s.d. 3 H)
memperluas konsep nasakh
hingga mencakup hal hal :
a. Penghapusan hukum yang
ditetapkan terdahulu oleh
hukum yang ditetapkan
kemudian.
b. Pengecualian (taksish) hukum
yang bersifat umum oleh
hukum yang meng
khususkannya.
c. Penjelasan yang datang
kemudian terhadap hukum yang
samar.
d. Penetapan syarat terhadap
hukum terdahulu yang belum
bersyarat.
Ulama Mutaakhkhirin
mempersempit pengertian
nasakh hanya bila meghapuskan
hukum yang terdahulu atau
telah berakhirnya masa berlaku
hukum yang terdahulu sehingga
ketentuan yang berlaku adalah
hukum yang ditetapkan
terakhir. Para ulama masih
memperselisihkan adakah ayat
Al-Qur’an yang dinasakh
hukumnya sedangkan lafazhnya
masih ada dalam mushaf.
Sebagian berpendapat tidak ada,
yaitu : Abu Muslim al-Ashfani,
Fakhruddin ar Razi, Muhammad
Abduh, dll. Kelompok yang
menolak adanya nasakh hukum,
mereka menta’wilkan kata
“ayat” dalam QS Al-baqarah :
106 dengan “mukjizat” jadi
yang di nasakh adalah mukjizat
bukan ayat Al-Qur’an.
Adapun kelompok yang
menetapkan adanya nasakh,
menafsirkan kata “ayat” dengan
zahirnya, diantaranya Imam
Syafi’i, Imam Syaukani dan As-
Suyuthi. Mengenai ayat-ayat
yang dinasakh, kelompok yang
menetapkan adanya nasakh
juga berbeda pendapat. As-
Suyuthi menyebutkan ada 21
ayat Al-Qur’an yang dinasakh.
Pembagian Naskh
1. Naskh Al-Qur’an dengan Al-
Qur’an. Semua ulama sepakat
kebolehannya, bagi yang
menetapkan adanya naskh
2. Naskh Al-Qur’an dengan
hadits
a. Naskh Al-Qur’an dengan
hadits mutawatir.
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Ahmad membolehkannya.
b. Naskh Al- dengan hadits
Qur’an ahad.
Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan
jumhur ulama tidak
membolehkan, berdasarkan ayat
“Apa saja yang kami nasakh kan,
atau kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik atau
yang sebanding
dengannya” (QS Al-Baqarah [2] :
106).
3. Naskh hadits dengan Al-
Qur’an
Jumhur ulama sepakat
membolehkan, contoh Arah
kiblat ke Baitul Maqdis yang
ditetapkan dalam sunah
dinasakh oleh ayat Al-Qur’an, QS
Al-Baqarah [2] : 144 : “Maka
palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram”
4. Naskh hadits dengan hadits
a. Naskh hadits mutawatir
dengan hadits mutawatir
b. Naskh hadits ahad dengan
hadits ahad
c. Naskh hadits ahad dengan
hadits mutawatir
d. Naskh hadits mutawatir
dengan hadits ahad
Tiga bentuk pertama
dibolehkan, sedang bentuk ke-
empat diperselisihkan.
5. Naskh berpengganti dan tidak
berpengganti
a. Nasakh tanpa pengganti,
contoh :
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu mengadakan
pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu
mengeluarkan sedekah (kepada
orang miskin) sebelum
pembicaraan itu” (QS Al-
Mujadalah [58] : 12).
Ketentuan ini dinasakh oleh
ayat :
“Apakah kamu takut akan
(menjadi miskin) karena kamu
memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul ?
Maka jika kamu tidak
memperbuatnya – dan Allah
telah memberi taubat kepadamu
– maka dirikanlah shalat,
tunaikan zakat”. (QS Al-
Mujadalah [58] : 13).
b. Nasakh dengan badal akhtaff,
misalnya firman Allah :
“Dihalalkan bagimu pada malam
hari bulan puasa bercampur
dengan istri-istri kamu … “ (QS
Al-Baqarah [2] : 187).
Ayat ini menghapus firman
Allah :
“…sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu
…” (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Karena maksud ayat QS Al-
Baqarah [2] : 183 adalah agar
puasa kita seperti ketentuan
puasa orang-orang terdahulu,
yaitu dilarang bercampur
dengan istri apabila mereka
telah mengerjakan shalat petang
atau telah tidur.
c. Nasakh dengan badal mumasil,
misalnya penghapusan arah
Kiblat ke Baitul Makdis menjadi
menghadap ke Masjidil Haram.
“Maka palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram..” (QS Al-
Baqarah [2] : 144).
d. Nasakh dengan badal asqal,
seperi penghapusan hukuman
penahanan rumah, dalam ayat :
“Dan (terhadap) para wanita
yang mengerjakan perbuatan
keji, datangkanlah empat orang
saksi dari pihak kamu (untuk
menjadi saksi). Kemudian
apabila mereka telah memberi
kesaksian, maka kurunglah
mereka (wanita-wanita itu)
dalam rumah sampai
meninggal…” (QS An-Nisa’ [4] :
15).
Ayat tersebut dinasakh dengan
ayat tentang hukuman rajam
bagi pezina muhson (sudah
pernah menikah) atau dera
seratus kali bagi pezina yang
belum pernah menikah.
Contoh-contoh naskh.
As-Suyuthi menyebutkan dalam
Al-Itqan sebanyak dua puluh
satu ayat, diantaranya :
1. QS Al-Baqarah [2] : 144 :
“Maka palingkanlah mukamu
kearah Masjidil Haram”
Ayat ini menasakh arah kiblat ke
Baitul Maqdis yang ditetapkan
dalam sunnah.
2. QS Al-Baqarah [2] : 180 :
“Diwajibkan atas kamu, apabila
seseorang diantara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya …”
Kewajiban berwasiat dalam
ayat ini dinasakh oleh ayat
tentang hukum waris dan
diperkuat oleh hadits.
“Sesungghuhnya Allah telah
memberikan kepada setiap
orang yang mempunyai hak
akan warisnya, maka tidak ada
wasiat bagi ahli waris”
3. QS Al-Baqarah [2] : 284 : “Jika
kamu melahirkan apa yang ada
dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya
Allah akan membuat
perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu.”.
Ayat ini meng isyaratkan Allah
akan membuat perhitungan
terhadap perbuatan dan
lintasan hati manusia. Namun
pertanggungjawaban lintasan
hati ini dinasakh oleh QS Al-
Baqarah [2] : 286 “Allah tidak
membebani seseorang
melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”.
4. QS Al-Anfal [8] : 65 : “Jika ada
dua puluh orang yang sabar
diantara kamu, niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus
orang musuh…”
Ayat ini melarang kaum
muslimin mundur dari
peperangan bila jumlah musuh
kurang dari sepuluh kali lipat,
namun ayat ini di nasakh
dengan QS Al-Anfal [8] : 66 :
“Sekarang Allah telah
meringankan kepadamu dan Dia
mengetahui bahwa padamu ada
kelemahan. Maka jika ada
diantara kamu seratus orang
yang sabar, niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus
orang”. Ayat ini membolehkan
kaum muslimin mundur dari
peperangan bila jumlah musuh
lebih dari dua kali lipat.
Namun kelompok yang tidak
mengakui adanya nask hukum
dalam mushaf Al-Qur’an tetap
memberikan argumentasi
bahwa ayat-ayat tersebut
bukan nasakh, melainkan hanya
mentahsis atau bisa
dikompromikan atau berlaku
menurut masa tertentu atau
punya sebab berbeda sehingga
hukumnya berbeda.
Hikmah adanya Nasakh :
1. Memelihara kepentingan
kaum muslimin.
2. Perkembangan tasyri menuju
tingkat kesempurnaan sesuai
dengan perkembangan dakwah
dan perkembangan kondisi
umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi
mukallaf, yaitu apakah
mengikuti (mempelajarinya)
ataukah tidak.
4. Menghendaki kebaikan bagi
umat. Jika nasakh beralih ke hal
yang lebih berat maka
didalamnya terdapat tambahan
pahala, dan jika beralih ke yang
lebih ringan maka mengandung
kemudahan dan keringanan.