Senin, 12 Desember 2011

QIRAAT DAN PENGAJARAN AL-QUR'AN

VII. Qiraat dan Pengajaran
Al-Qur’an
Dari segi bahasa kata qira’ah
berarti bacaan, masdar dari
qara’a. Dari segi istilah, Az-
Zaqrani memberikan pengertian
qira’ah adalah sebagai suatu
mazhab yang dianut oleh
seorang qari’ dalam membaca
Al-Qur’an yang berbeda satu
dengan yang lainnya dalam
pengucapan Al-Qur’an serta
disepakati riwayat dan sanad-
sanadnya, baik perbedaan itu
dalam pengucapan huruf
maupun dalam pencucapan
lafaznya.
Mazhab qira’ah yang terkenal
adalah qira’ah sab’ah (tujuh),
qira’ah asyarah (sepuluh) dan
qira’ah arba’a ‘asyarah (empat
belas). Perbedaan ini disebabkan
oleh berbedanya kapasitas
intelektual dan kapasitas
masing-masing sahabat dalam
mengetahui cara membaca Al-
Qur’an. Hal ini juga berkaitan
dengan tulisan Al-Qur’an dalam
mushaf Usmani yang belum
diberi baris atau tanda baca
apapun, sehingga bacaan Al-
Qur’an dapat berbeda dari
susunan huruf-hurufnya,
terutama pada saat wilayah
Islam semakin meluas dan para
sahabat yang mengajarkan Al-
Qur’an menyebar ke berbagai
daerah.
Qira’ah sab’ah (tujuh) adalah
qira’ah yang merujuk kepada
tujuh imam yang masyhur,
yaitu :
1. Ibnu Katsir dari Mekkah, yang
nama lengkapnya adalah Abu
Ma’bad Muhammad Abdullah Bin
Katsir Bin umar bin Zadin Ad-
Dari Al Makki (45-120 H). Belajar
qira’ah kepada sahabat Nabi
Abu Said Bin Abdullah Bin Shaib
Al Makhzumi.
2. Imam Nafi’ dari Isfahan
(Madinah), yang nama
lengkapnya adalah Abu Nu’aim
Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu
Nu’aim Al Laitsi Al Isfahani Al
Madani(70-169 H). Belajar
qira’ah kepada Zaid bin Qa’qa Al
Qurri Abu Ja’far dan Abu
Maimunah.
3. Imam ‘Ashim bin Abi nujub
bin Bahdalah Al Asadi Al Kufi
(wafat 127 H). Belajar qira’ah
kepada Sa’ad bin Iyasy Asy
Syaibani, Abu Abdurrahman
Abdullah bin habib As Salami
dan Zir bin Hubaisy.
4. Imam Hamzah dari Kufah,
nama lengkapnya adalahAbu
Imarah Hamzah bin Habib Az
Zayyat Al Fardhi Attaimi
(156-216 H). Belajar qira’ah
kepada Imam Ashim Imam As
Sabi’I Abu Muhammad Sulaiman
bin Mahram Al A’mari.
5. Imam Kuzai dari Kufah, nama
lengkapnya adalah Abu Hasan
Ali bin Hamzah bin Abdullah bin
Fairuz Al Farizi Al Kuzai An
Nahwi (119-189 H). Belajar
qira’ah pada imam Hamzah dan
Imam Syu’bah bin Iyasy.
6. Imam Abu Amr dari Basrah,
nama lengkapnya adalah Abu
Amr Zabban bin Al A’la bin
Ammar Al Basri(70-154 H).
Belajar qira’ah kepada Al
Baghdadi dan Hasan Al Basri.
7. Imam Abu Amir dari
Damaskus, nama lengkapnya
adalah Abu nu’aim Abu Imran
Abdullah bin Amir Asy Syafi’I
Alyas Hubi (21-118 H). Belajar
qira’ah kepada Abu Darda’ dan
Mughirah bin Syu’bah.
Qira’ah Asyarah (sepuluh)
adalah qira’ah tujuh diatas
ditambah dengan tiga imam lagi,
yaitu :
8. Imam Ya’qub dari Basrah,
nama lengkapnya Abu
Muhammad Ya’qub bin Ishaq Al
Basri Al Madhrami (wafat 205
H).
9. Imam Khalaf dari Kufah, nama
lengkapnya Abu Muhammad
Khalaf bin Hisyam bin Thalib Al
Makki Al Bazzaz (wafat 229 H).
10. Imam Ja’far dari Madinah,
nama lengkapnya Abu Ja’far
Yasid bin Al Qa’qa Al Makhzumi
Al Madani (wafat 230 H).
Qira’ah ‘Arba’a ‘Asyarah (empat
belas) adalah qira’ah sepuluh
diatas ditambah empat imam
lagi, yaitu :
11. Imam Hasan Al Basri
12. Imam Ibnu Mahisy
13. Imam Yahya Al Yazidi
14. Imam Asy Syambudzi.
Para ahli sejarah menyebutkan
bahwa orang yang pertama kali
menuliskan ilmu qira’ah adalah
Imam Abu Ubaid Al Qasim bin
Salam (wafat 224 H). Beliau
menulis sebuah kitab dengan
nama Al-Qira’at yang
menghimpun 25 orang perawi.
Kriteria qira’ah yang diterima :
1. Sesuai dengan kaidah bahasa
Arab.
2. Sesuai dengan salah satu
mushaf Usmani.
3. Sanadnya sahih.
Bila salah satu syarat dari ketiga
syarat diatas tidak dipenuhi
maka qira’at nya dinyatakan
syadz atau tidak sah dan ditolak.
Faedah perbedaan qira’ah :
1. Mempermudah kabilah-kabilah
yang berbeda logat / dialek,
tekanan suara dan bahasanya
dengan bahasa Al-Qur’an.
2. Membantu dalam penafsiran
dan ijtihad, karena perbedaan
qira’at itu bisa jadi menjelaskan
apa yang mungkin masih global
dalam qira’ah lain. Seperti qira’ah
Ibnu Mas’ud dalam surah Al
Maidah ayat 38 : was-sariqqu
wassariqatu faqtha’u
aidiyahuma, dalam qira’ah lain
dibaca faqtha’u aimanahuma.
3. Menunjukkan terjaga dan
terpeliharanya Al-Qur’an dari
penyimpangan, padahal Al-
Qur’an tersebut mempunyai
banyak segi bacaan.
4. Membuktikan kemukjizatan
Al-Qur’an, baik dari segi makna
atau lafaznya.
Tajwid
Tajwidul Qur’an adalah ilmu
yang membahas cara membaca
atau mengucapkan Al-Qur’an
dengan baik dan benar, yang
meliputi tempat keluarnya
(makharijul) huruf, cara berhenti
(waqaf), imalah, idgam, idhar,
ikfak, iqlab, tarqiq, tafkhim, dsb.
Adab membaca Al-Qur’an :
1. Bersiwak sebelumnya.
2. Mempunyai wudhu.
3. Membaca ditempat yang suci
dan bersih.
4. Membaca Ta’awudz sebelum
mulai membaca Al-Qur’an
5. Membaca Basmallah pada
permulaan awal surah, kecuali
surah At-Taubah, sebab
Basmallah termasuk salah satu
ayat Al-Qur’an.
6. Membaca dengan khusuk,
tenang dan takzim.
7. Menghadirkan hati dan
meresapi maknanya.
8. Membaca dengan tartil (pelan
dan tenang) dan dengan tajwid
yang benar.
9. Membaguskan suara.
10. Mengeraskan suara bacaan.
Keadaan suci ketika membaca
dan menyentuh Al-Qur’an
A. Membaca Al-Qur’an dalam
keadaan berhadats kecil.
Membaca Al-Qur’an dalam
keadaan berhadats kecil dengan
tanpa menyentuhnya,
hukumnya jaiz (boleh). Sayyid
Sabiq dalam Fiqhus Sunnah
menyatakan bahwa “Para ulama
tidak berselisih pendapat atau
sepakat didalam masalah
tersebut.”
B. Membaca Al-Qur’an dalam
keadaan berhadats besar
(junub).
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid mengatakan : Jumhur
ulama mengharamkannya.
Dalam Fiqhus Sunnah, karya
Sayyid Sabiq terdapat
keterangan : Imam Bukhary,
ath-Thabrani, Abu Daud dan
Ibnu Hazm membolehkannya.
C. Membaca Al-Qur’an dalam
keadaan haid atau nifas
Hadits Jabir dari Nabi, beliau
bersabda :
“Perempuan yang sedang haidh
dan nifas tidak (boleh)
membaca sesuatu dari Al-
Qur’an” (HR ad-Daraquthni).
Hadits lain bersumber dari Ibnu
Umar yang diriwayatkan oleh
Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu
Majah dengan redaksi yang
tidak jauh berbeda dengan
hadis Jabir diatas. Dari situ
jumhur ulama mengharamkan
wanita yang sedang haid atau
nifas membaca Al-Qur’an.
Imam Syaukani dalam Nailul
Autar berkata : “Kedua hadits
itu tidak patut untuk dijadikan
hujjah untuk hukum “haram””.
(Kedua hadits tersebut masih
diperselisihkan ke-sahihannya).
D. Menyentuh Al-Qur’an dalam
keadaan ber hadats kecil dan
besar.
Dalil yang mengharamkan
menyentuh Al-Qur’an dalam
keadaan ber hadats kecil
maupun besar masih
diperselisihkan dan cenderung
tidak kuat.
Dari segi untuk ke hati-hatian
dan dari adab kesopanan
sebaiknya ketika menyentuh
dan membaca Al-Qur’an sedapat
mungkin dalam keadaan suci
dan punya wudhu.
Menerima upah dari
mengajarkan Al-Qur’an
Abu Laits Nashrun bin
Muhammad as-Samarqandi
dalam kitabnya Bustanul Arifin
menyatakan bahwa
mengajarkan Al-Qur’an itu ada
tiga macam :
1. Mengajarkan Al-Qur’an ikhlas
karena Allah semata dan tidak
meminta upah.
2. Mengajarkan Al-Qur’an
dengan meminta upah.
3. Mengajarkan Al-Qur’an
dengan tanpa syarat, jika
dikasih upah diterima.
Macam pertama mendapat
pahala Allah atas perbuatannya
dan yang demikian itu
meneladani perbuatan para
nabi.
Macam kedua diperselisihkan
oleh para ulama. Sebagian ulama
dahulu (mutaqaddimun)
menetapkan “tidak boleh”.
Sedangkan sebagian ulama
kemudian (mutaakhkhirun)
menetapkan “Boleh” seperti :
Ashnan bin Yusuf, Nashrun bin
Yahya dan Abu Nashr bin Salam.
Macam ketiga disepakati “boleh”
oleh jumhur ulama.

FAWATHIUS SUWAR (pembukaan surat)

VI. Fawatihus Suwar
(Pembukaan Surat)
Fawatisus suwar berarti
pembukaan surat karena
posisinya yang mengawali
perjalanan teks-teks p-ada suatu
surat. Apabila dimulai dengan
huruf-huruf hijaiyah dinamakan
dengan ahruf muqatta’ah
(huruf-huruf terpisah), karena
posisi huruf tersebut
menyendiri dan tidak
bergabung membentuk suatu
kalimat secara kebahasaan.
Ibnu Abi Al Asba’ menulis kitab
yang secara mendalam
membahas tentang bab ini yaitu
kitab Al Khaqatir Al Sawanih fi
Asrar Al Fawatih, beliau
membagi bentuk pembukaan
surat dalam Al-Qur’an dalam lima
bentuk :
1. Pujian kepada Allah.
2. Huruf muqatta’ah, terdapat
dalam 29 surat.
3. Kata seru (ahruhun nida’),
terdapat dalam 10 surat.
4. Kalimat berita, terdapat dalam
23 surat.
5. Sumpah, terdapat dalam 15
surat.
Pembahasan yang dilakukan
para ulama menunjukkan bahwa
pembukaan surat yang
berbentuk huruf muqatta’ah
sering menimbulkan kontroversi
diantara mereka. Sehingga tidak
heran apabila huruf-hurf
muqatta’ah tersebut sering
dikategorikan sebagai ayat-ayat
mutasyabihat yang tidak
seorangpun mengetahui artinya
kecuali Allah. Atau bahkan
disebut sebagai salah satu
rahasia tuhan yang terdapat
dalam Al-Qur’an.