Rabu, 11 Januari 2012

AIR MATA PENJARA WANITA

Siapa sangka, muslimah yang
dulunya santun dan berselimut
malu itu, tiba-tiba berubah
ganas dan menjadi penghuni
penjara wanita?
Penjara wanita adalah jeruji besi
yang membuat semakin lemah
makhluk yang sudah lemah.
Penjara wanita adalah tembok-
tembok jangkung yang
mengepung ketidakberdayaan
makhluk yang
melahirkan’kehidupan’ manusia.
Penjara wanita adalah nyanyian
kesedihan dan ratapan duka.
Penjara wanita adalah tempat
banjirnya air mata.
Kisah-kisah pilu dari balik
penjara wanita akan membuat
siapa saja terperangah. Ah,
mungkinkah wanita muslimah
yang lembut, menyimpan
pesona denga rasa malunya
yang tinggi dan bunga
kehidupan itu bisa terperosok
dalam -maaf- kehidupan gaya
setan? Bagaimana mungkin
mereka –yang muslimah itu- lalu
dengan ganasnya menjadi
pembunuh, pecundang,
pemabok, penjudi, pencuri,
pecandu narkoba, berzina, seks
bebas dan penyimpangan-
penyimpangan lainnya yang
mengantarkan mereka ke
penjara?
Di mana kelembutan mereka? Di
mana rasa malu mereka? Di
mana iman mereka? Bagaimana
setan-setan di sekelilingnya
membujuk mereka, sehingga
mereka takluk menjadi korban?
Apa saja senjata manusia-
manusia serigala yang
menjerumuskan mereka ke
lumpur dosa? Tidak adakah
peran orang tua, keluarga, dan
masyarakat sekitarnya untuk
menyelamatkannya?
Kehidupan ini telah memberikan
pelajaran yang sangat beragam,
kompleks dan sangat berharga.
Ternyata, mereka yang menjadi
korban tidak saja dari keluarga
berantakan, tetapi tak sedikit
juga dari keluarga shalih dan
terhormat. Bagaimana itu bisa
terjadi? Ya, ternyata itu benar-
benar bisa terjadi. Buktikan
sendiri dengan membaca kisah-
kisah nyatanya dalam buku ini.
Kisah-kisah yang memilukan dari
balik jeruji besi penjara wanita.
Dan, untuk mengobati keperihan
hati yang teriris-iris akibat dari
penjara wanita yang berlumuran
dosa, guyurlah hati anda dengah
kisah-kisah puncak ketaatan
akibat kerinduan menggapai
Surga. Kisah-kisah manusia yang
mengabdikan sepanjang
hidupnya untuk Rabb-nya.
Kisah-kisah yang menumbuhkan
optimisme untuk selamat dari
Neraka.
Beruntunglah anda, wahai
muslimah yang masih terjaga
kehormatannya, lalu belajar dari
kisah-kisah buku ini. Bacalah!
Jadikan ia sebagai pelajaran dan
pegangan anda dalam
mengarungi kehidupan yang
penuh dengan tipu daya ini. Dan
Jangan pernah ada keluarga
anda mencicipi kehidupan di
dalam penjara wanita.
Na’udzubillah.

Kamis, 29 Desember 2011

di clik yach

XIX. Kaidah Dhamir (Kata
Ganti), Tadzkir (penunjuk
laki-laki) dan Ta’nits
(penunjuk perempuan).
Dhamir (kata ganti) berfungsi
untuk menghindari pemborosan
kata-kata, mempersingkat
perkataan, tanpa mengubah
maknanya, contohnya :
“Sungguh, laki-laki dan
perempuan mukmin, laki-laki
dan perempuan yang taat, laki-
laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang
sabar, tabah, laki-laki dan
perempuan yang khusyuk, laki-
laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-
laki dan perempuan yang
memelihara kehormatan, laki-laki
dan perempuan yang banyak
mengingat Allah, bagi mereka
Allah menyediakan ampunan
dan pahala yang besar” (QS 33 :
35)
kata “hum” yaitu “mereka” pada
akhir ayat menggantikan 25
kata yang disebutkan
sebelumnya. Dhamir mempunyai
kata yang digantikan yang
disebut isim zhahir (kata yang
disebutkan dengan jelas) dan
isim marji’ (tempat kembali).
Dhamir terdiri atas tiga macam :
1. Kata ganti orang pertama,
menggunakan dhamir
mutakallim.
2. Kata ganti orang kedua,
menggunakan dhamir
mukhatab.
3. Kata ganti orang ketiga,
menggunakan dhamir ghaib.
Tadzkir (penunjuk laki-laki)
adalah kata-kata yang
menunjukkan jenis gender laki-
laki (mudzakkar) dan ta’nits
(penunjuk perempuan) adalah
kata-kata yang menunjukkan
jenis gender perempuan
(mu’annats). Untuk mendalami
masalah ini silahkan mempelajari
ilmu nahwu (gramatika) Bahasa
Arab.
XX. Kaidah Ta’rif (Isim
Makrifah) dan Tankir (Isim
Nakirah)
Isim Makrifah adalah kata benda
tertentu, mempunyai beberapa
fungsi, antara lain :
1. Ta’rif dengan isim dhamir
(kata ganti) untuk meringkas
kalimat, contoh QS 33 : 35 :
“Sungguh, laki-laki dan
perempuan mukmin, laki-laki
dan perempuan yang taat, laki-
laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang
sabar, tabah, laki-laki dan
perempuan yang khusyuk, laki-
laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-
laki dan perempuan yang
memelihara kehormatan, laki-laki
dan perempuan yang banyak
mengingat Allah, bagi mereka
Allah menyediakan ampunan
dan pahala yang besar”.
2. Ta’rif dengan nama diri
berfungsi untuk beberapa
maksud :
a. Menghadirkan pemilik nama
itu dalam hati pendengar
dengan cara menyebut
namanya yang khas, contoh QS
112 : 1-2 : “Katakanlah, Dia lah
Allah, Yang Maha Esa, Allah Yang
Kekal, Yang Mutlak”
b. Memuliakan atau
mengungkap identitas, contoh
QS 48 : 29 : “Muhammad adalah
utusan Allah, orang-orang yang
bersamanya bersikap keras
terhadap orang-orang kafir,
kasih-sayang antara sesamanya,
akan kau lihat mereka rukuk dan
sujud (dalam shalat), mencari
karunia Allah dan ridhaNya”.
c. Menghinakan atau
meremehkan, contoh QS 111 :
1 : “Binasalah kedua tangan Abu
Lahab, binasalah dia”.
3. Ta’rif dengan isim isyarah
(kata penunjuk), untuk maksud
tertentu
a. Menjelaskan yang ditunjuk itu
dekat, dengan kata penunjuk
“hadza” atau “hadzihi”, contoh
QS 31 : 11
b. Menjelaskan bahwa sesuatu
yang ditunjuk itu jauh, dengan
kata penunjuk : dzalika, tilka,
ula’ika.
c. Menjelaskan keagungan yang
ditunjuk dengan menggunakan
kata penunjuk jauh : dzalika,
contoh QS 2 : 2.
d. Menghinakan dengan kata
penunjuk dekat, contoh QS : 29 :
64.
4. Ta’rif dengan isim maushul
karena beberapa alasan :
a. Karena tidak disukai
penyebutan namanya untuk
menutupi atau merendahkan,
contoh QS 46 : 17
b. Untuk menunjukkan umum,
contoh QS 29: 69.
c. Untuk meringkas kalimat,
contoh QS 33 : 69.
5. Ta’rif dengan alif dan lam,
antara lain berfungsi untuk :
a. Menunjukkan sesuatu yang
sudah diketahui, karena sudah
disebutkan sebelumnya.
b. Menunjukkan sesuatu yang
sudah diketahui oleh pendengar.
c. Menunjukkan hakikat makna
secara keseluruhan.
d. Menunjuk seluruh pengertian
yang tercakup didalamnya.
6. Ta’rif dengan idhafah, antara
lain berfungsi sebagai berikut :
a. Memuliakan, contoh QS 15 :
42.
b. Menunjuk pengertian umum,
contoh QS 35 : 3.
Isim Nakirah adalah kata benda
tak tentu, digunakan untuk
beberapa fungsi, antara lain
sbb :
1. Menunjukkan tunggal, contoh
QS Yasin [28] : 20 : “Dan seorang
laki-laki datang tergesa-gesa
dari ujung kota”. Kata “rajulun”
maksudnya seorang laki-laki.
2. Menunjukkan ragam-macam,
contoh QS Al-Baqarah [2] : 96 :
“Sungguh akan kau dapati
merekalah orang yang paling
serakah ingin hidup”. Yaitu
ragam kehidupan, mencari
tambahan untuk masa depan.
3. Menunjukkan tunggal dan
ragam sekaligus, contoh QS An-
Nur [24] : 45 : “Allah
menciptakan semua yang
melata dari air”. Maksudnya,
setiap macam dari segala macam
binatang itu berasal dari suatu
macam air dan setiap individu
(satu) binatang itu berasal dari
satu nutfah.
4. Mengagungkan atau
memuliakan, contoh QS Al-
Baqarah [2] : 279 : “Jika kamu
lakukan, ketahuilah, suatu
pernyataan perang dari Allah
dan Rasulnya”. Kata “harb”
berarti peperangan yang
dahsyat .
5. Menunjukkan jumlah yang
banyak, contoh QS Asy-
Syu’ara’ [26] : 42 : “Setelah ahli-
ahli sihir datang, mereka berkata
kepada Fir’aun, “Tentu kami
akan mendapat imbalan bila
kami yang menang ?”. Kata
“ajran” ialah pahala yang
banyak.
6. Mengagungkan dan
menunjukkan arti banyak
sekaligus, contoh QS Fatir [35] :
4: “Kalau mereka mendustakan
engkau, Rasul-Rasul sebelummu
pun sudah didustakan dan
kepada Allah segala persoalan
dikembalikan”. Maksudnya,
Rasul-Rasul yang mulia dan
banyak jumlahnya.
7. Untuk merendahkan, contoh
QS Abasa [80] : 18 : “Dari bahan
apakah Ia menciptakan ? Dari
setetes air mani. Ia menciptakan,
lalu membentuknya menurut
ukuran”.
8. Menyatakan jumlah yang
sedikit, contoh QS At-Taubah
[9] : 72 : “Allah menjanjikan
kepada orang yang beriman,
laki-laki dan perempuan (yaitu)
taman-taman surga …. Dan
keridlaan Allah lebih besar. Itulah
kemenangan yang gemilang”.
Artinya ridla Allah yang sedikit
itu lebih besar daripada surga-
surga yang ada, kerena
merupakan pangkal
kebahagiaan.
9. Menunjukkan pengertian
umum jika nakirah tersebut
mengandung unsur nafyi atau
nahyi atau syarth atau istifham,
contoh QS 82 : 19 : “Hari ketika
tak seorang pribadi pun
berkuasa atas pribadi yang lain
dan segala urusan hari itu
hanyalah semata pada Allah”.
Kata nafs dalam ayat tersebut
bersifat umum, siapapun
orangnya sama, tidak dapat
membantu orang lain.

Senin, 26 Desember 2011

KAIDAH MUFRAD (tunggal) - JAMAK (berbilang)

XVIII. Kaidah Mufrad
(tunggal) – Jamak
(berbilang)
Mufrad adalah sebutan untuk
kata benda (isim) yang
menunjukkan satu atau tunggal.
Sedangkan Jamak adalah
sebutan untuk kata benda (isim)
yang berarti lebih dari satu atau
banyak.
Kaidah Mufrad-Jamak dalam Al-
Qur’an :
1. Kata yang selalu disebutkan
dalam bentuk mufrad (tunggal)
misalnya : ardh (bumi), shirath
(jalan), nur (cahaya).
2. Kata-kata yang selalu
disebutkan dalam bentuk jamak,
misalnya : lubb-albab (orang
orang yang memikirkan), kub-
akwab (piala-piala).
3. Kata yang dipergunakan
dalam bentuk mufrad dan jamak
untuk maksud atau konteks
yang berbeda. Kata-kata
tersebut antara lain : Sama’ –
samawat, rih – riyah, sabil –
subul, maghrib –magharib,
masyriq – masyariq.
Kata sama’ dalam bentuk jamak
adalah untuk menyebut
bilangan atau untuk
menunjukkan betapa luasnya.
Dan dalam bentuk mufrad jika
yang dimaksud adalah arah atas,
sebagai lawan bawah.
Kata rih biasanya disebutkan
dalam bentuk mufrad jika
digunakan dalam konteks azab
dan digunakan dalam bentuk
jamak jika digunakan dalam
konteks rahmat.
Kata sabil disebutkan dalam
bentuk mufrad, jika digunakan
dalam konteks kebenaran dan
disebutkan dalam bentuk jamak
jika untuk jalan kesesatan.
Kata masyriq dan maghrib
dimufradkan untuk
menunjukkan arah, di jamak kan
jika menunjukkan dua tempat
terbit dan dua tempat
terbenam, yakni musim dingin
dan musim panas. Dijamakkan
karena keduanya adalah tempat
terbit dan tempat terbenam
setiap hari.

Jumat, 23 Desember 2011

KAIDAH ISIM (kata benda) - FI'IL (kata keqja)

XVII. Kaidah Isim (kata
benda) - Fi’il (kata kerja)
Menurut As Suyuthi, isim
menunjukkan tetapnya keadaan
dan kelangsungannya.
Sedangkan fi’il menunjukkan
timbulnya sesuatu yang baru
dan terjadinya suatu perbuatan.
Masing-masing kata tersebut
mempunyai tempat tersendiri
yang tidak bisa dipertukarkan
satu dengan yang lain untuk
tetap menghadirkan makna
yang sama. Hakikat makna yang
dikandung ayat berbeda,
dengan perkataan kata yang
digunakan.
A. Beberapa contoh ayat yang
menggunakan isim :
1. QS Al-Kahfi [18] : 18 :
“Engkau mengira mereka
bangun, padahal mereka tidur
dan kami bolak-balikkan mereka
ke kanan dan ke kiri; anjing
mereka merentangkan kedua
kaki depannya diambang pintu.
Kalau engkau melihat mereka,
tentu engkau akan berbalik lari
dari mereka dan penuh rasa
takut”.
Ayat tersebut menggambarkan
tentang keadaan anjing ashabul
kahfi ketika tidur didalam gua.
Anjing itu dalam keadaan kaki
terentang selama mereka tidur.
Keadaan demikian diungkapkan
dengan menggunakan isim
(kata benda), tidak dengan fi’il
(kata kerja). Penggunaan isim
tersebut lebih menggambarkan
tetapnya keadaan anjing
sepanjang waktu itu.
2. QS Al Hujurat [49] : 15 :
“Orang-orang yang mukmin
ialah yang beriman kepada Allah
dan RasulNya dan tak pernah
ragu berjuaang di jalan Allah
dengan harta dan nyawa.
Mereka itulah orang-orang yang
tulus hati”.
Iman adalah hakikat yang harus
tetap berlangsung atau ada,
selama keadaan menghendaki,
seperti halnya ketaqwaan,
kesabaran dan sikap syukur.
Penggunaan isim mu’minun
menggambarkan keadaan
pelakunya yang terus
berlangsung dan
berkesinambungan. Ia tidak
terjadi secara temporer. Mukmin
adalah sebutan untuk orang
yang keberadadannya
senantiasa diliputi iman.
B. Beberapa contoh ayat yang
menggunakan fi’il :
1. QS Al-Baqarah [2] : 274 :
“Mereka yang menyumbangkan
harta, siang dan malam, dengan
sembunyi atau terang-terangan,
pahala mereka pada Tuhan.
Mereka tak perlu khawatir dan
tak perlu sedih”.
Kata yunfiqun (meng-infaq-kan)
pada ayat diatas menunjukkan
keberadaannya sebagai
tindakan yang bisa ada dan bisa
juga tidak, sebagai sesuatu yang
temporal. Manakala seseorang
melakukan pekerjaan ituia
berolah pahala dan jika
meninggalkan ia tidak
memperolah pahala.
2. QS Asy-Syu’ara’ [26] : 78-82 :
“Yang menciptakan aku, dan
Dialah Yang membimbingku;
Yang memberi aku makan dan
minum. Dan bila aku sakit, Dialah
Yang menyembuhkan aku; Yang
akan membuatku mati, dan
kemudian menghidupkan aku
(kembali). Dan kuharapkan
mengampuni dosa-dosaku pada
hari perhitungan”.
Isim khalaqa dalam ayat
tersebut menunjukkan telah
terjadi dan selesainya
penciptaan pada waktu yang
lampau, sedang fi’il yahdi dan
lain-lainnya dalam rangkaian
ayat tersebut menunjukkan
terus berlangsungnya
perbuatan itu waktu demi
waktu berangsur-angsur hingga
sekarang.

Kamis, 22 Desember 2011

KAIDAH WUJUH (banyak makna) - NAZHA'R (satu makna)

XVI. Kaidah Wujuh (banyak
makna) – Nazha’ir (satu
makna)
Wujuh adalah satu kata yang
mempunyai banyak makna,
sedangkan nazha’ir adalah kata
yang hanya mempunyai satu
makna yang tetap.
Muqatil bin Sulaiman
meriwayatkan yang
disandarkan kepada Nabi :
“Seseorang tidak akan benar-
benar paham Al-Qur’an sebelum
dia mengetahui makna yang
beragam (wujuh) dari Al-
Qur’an”.
Ibnu ‘Asakir meriwayatkan
sebuah hadits yang berasal dari
Hammad Zaid, dari Ayyub, dari
Abu Qalabah, dari Abu Darda’ :
”Sesungguhnya engkau tidak
akan benar-benar paham Al-
Qur’an sebelum engkau
mengetahui makna-makna Al-
Qur’an dalam berbagai ragam”.
Diantara lafazh-lafazh yang
termasuk dalam kategori wujuh
adalah kata “al-huda”. As-
Suyuthi mengemukakan tujuh
belas arti kata tersebut dalam
berbagai tempat sebagai
berikut :
1. Tsabat, tetap teguh
“Teguhkanlah kami pada jalan
yang lurus” (QS Al-Fatihah
[1] :6).
2. Al-bayan, menjelaskan
“Merekalah yang berada dalam
penjelasan tuhan dan mereka
yang akan berhasil” (QS Al-
Baqarah [2] : 5).
3. Ad-dien, agama
“Katakanlah, ‘Agama yang benar
ialah agama’ “. (QS [3] : 73).
4. Iman
“Dan Allah menambah keimanan
kepada mereka yang telah
dikaruniai iman” (QS [19] : 76).
5. Ad Du’a, seruan
“Dan orang-orang kafir berkata :
“Mengapa tidak diturunkan
kepadanya sebuah ayat dari
Tuhannya ?” Tetapi engkau
adalah seorang pemberi
peringatan, dan pada setiap
golongan ada seorang
penyeru” (QS [13] : 7).
6. Rasul dan kitab
“Kami berfirman : “Turunlah
kamu sekalian dari sini. Maka
apabila datang kepadamu Rasul
dan kitab Aku, siapapun
mengikuti Rasul dan kitab-Ku
tak ada kekhawatiran dan tak
perlu sedih” (QS [2] : 38).
7. Al-Ma’rifah, pengetahuan
“Dan dia memancangkan diatas
bumi gunung-gunung supaya
tidak menggoyangkan kamu
dan sungai-sungai serta lorong-
lorong supaya kamu mendapat
petunjuk. Dan rambu-rambu dan
dengan bintang-bintang mereka
mengetahui” (QS [2] : 159).
8. Nabi Muhammad
“Mereka menyembunyikan
segala keterangan (ayat-ayat)
dan Nabi yang kami turunkan
setelah dijelaskan dalam kitab
kepada manusia, mereka
mendapat laknat Allah dan
laknat mereka yang berhak
melaknat.” (QS [2] : 159).
9. Al-Qur’an
“Itu hanya nama-nama yang
kamu buat-buat sendiri, kamu
dan moyang kamu, Allah tidak
memberi kekuasaan itu. Apa
yang mereka ikuti hanyalah
dugaan dan yang
menyenangkan nafsu sendiri.
Padahal Al-Qur’an dari Tuhan
sudah sampai kepada
mereka.” (QS [53] : 23).
10. Taurat
“Dahulu telah kami berikan
kepada Musa Taurat. Dan kami
wariskan Kitab itu kepada Bani
Israil.” (QS [40] : 53).
11. Al-Istirja’, mohon
perlindungan
“Mereka berkata, bila ditimpa
musibah “Inna lillahi wa ‘inna
ilaihirojiun” Kami milik Allah dan
kepadaNya pasti kami kembali.
Mereka itulah yang mendapat
karunia dan rahmat dari Tuhan
dan mereka itulah yang
memohon perlindungan” (QS Al-
Baqarah [2] : 156-157).
12. Al Hujjah, argumen
“Tidakkah tergambar olehmu
orang yang berdebat dengan
Ibrahim tentang Tuhannya
karena ia telah diberi
kekuasaan ? Ibrahim berkata ,
“Tuhanku Yang menghidupkan
dan Yang mematikan.” Ia
berkata : “Akulah yang
membuat hidup dan membuat
mati.” Ibrahim berkata, “Tapi
Allah Yang menyebabkan
matahari terbit dari Timur.
Terbitkanlah kalau begitu, dari
Barat.” Orang yang ingkar itu
terkejut. Allah tidak memberi
argumen kepada orang-orang
yang zalim.” (QS Al-Baqarah [2] :
156-157).
13. Tauhid
“Mereka berkata, “Jika kami akan
mengikuti ajaran tauhid
bersamamu, tentulah kami akan
diusir dari tanah kami”. (QS
[28] : 57).
14. Sunnah, pedoman perilaku
“Ataukah sudah Kami beri kitab
kepada mereka sebelum itu, lalu
mereka jadikan pegangan ?
Bahkan mereka berkata, “Kami
sudah melihat leluhur kami
sudat menganut suatu agama,
dan kami berpedoman pada
mereka.” (QS [43] : 21-22).
15. Al-ishlah, pembenaran
“Itulah supaya ia tahu bahwa
aku tidak mengkhianatinya
ketika ia tak ada, dan Allah tidak
membenarkan tipu muslihat
para pengkhianat.” (QS [12] : 52)
16. Ilham
“Ia berkata : “Tuhan kami ialah
Yang telah memberikan setiap
suatu (ciptaan) bentuk dan
kodratnya, kemudian
mengilhaminya.” (QS [20] : 50)
17. Taubat
“Dan tetapkanlah untuk kami
kehidupan yang baik, didunia
dan diakhirat. Sungguh kami
bertobat kepadaMu, Ia
berfirman, “Azabku akan
menimpa siapa-siapa yang
Kukehendaki dan rahmatKu
meliputi segala sesuatu. Dan
akan Kutetapkan (rahmatKu)
untuk mereka yang bertaqwa
dan yang mengeluarkan zakat
serta mereka yang beriman
kepada ayat-ayat kami.” (QS [7] :
156)
Kata-kata lain yang termasuk
wujuh adalah su’, shalat,
rahmah, fitnah, ruh, dzikr, din,
du’a.
Sedangkan contoh nazha’ir
adalah kata “al-barru” yang
selalu bermakna darat dan “al-
bahru” yang selalu bermakna
laut. Misalnya dalam ayat :
1. QS Al-An’am [6] : 59
“Dia mengetahui apa yang
didarat dan dilaut.”
2. QS Yunus [10] : 22
“Dialah yang memungkinkan
kamu menjelajahi daratan dan
lautan.”
3. QS Al-Isra’ [17] : 70
“Kami telah memberi
kehormatan kepada anak-anak
Adam; Kami lengkapi mereka
dengan sarana angkutan di
darat dan di laut.”
Fenomena wujuh dalam Al-
Qur’an merupakan fenomena
kewahyuan, dimana seorang
pembaca Al-Qur’an akan
mendapatkan bahwa ayat-
ayatnya menampakkan ‘wajah’
nya dari perpekstif dan latar
belakang ia membacanya,
seperti permukaan berlian yang
memberikan cahaya yang
beragam dari semua sudut
pandang yang berbeda-beda.

Rabu, 21 Desember 2011

KAHDAH AMR (perintah) - NAHI (larangan)

XV. Kaidah Amr (perintah) –
Nahi (larangan)
Amr (perintah)
Amr berarti perintah atau
suruhan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah
kedudukannya, yaitu dari Allah
kepada manusia.
Hukum lafazh amr :
1. Asal dari suatu perintah itu
adalah menunjukkan wajib.
2. Makna wajib bisa berpaling
dari makna wajib ke makna lain,
apabila terdapat petunjuk
(qarinah) yang menghendaki
makna lain tersebut, baik
qarinah tersebut berupa
susunan bahasa atau tuntutan
maknanya secara keseluruhan
maupun karena nash lain yang
menuntut perpalingan makna.
3. Asal dari suatu perintah tidak
menuntut adanya pengulangan,
kecuali bila terdapat dalil yang
menunjukkan kebalikannya.
Misalnya QS Al-Maidah [5] : 6 :
“Dan jika kamu junub, maka
mandilah.” Perintah mandi
berlaku berulang bila
penyebabnya yaitu “junub”
berulang.
Bentuk – bentuk amr :
1. Menggunakan kata kerja
perintah (fi’il amr), seperti pada
QS [4] : 4 :
“Dan berikanlah kepada
perempuan (Dalam perkawinan)
mas kawinnya dengan ikhlas;
tetapi jika dengan senang hati
mereka memberikan sebagian
darinya kepadamu, terimalah
dan nikmatilah pemberiannya
dengan senang hati”.
2. Menggunakan fi’il mudhari’
dengan didahului lamul-amr,
seperti dalam QS [3] : 104 :
“Hendaklah diantara kamu ada
segolongan orang yang
mengajak kepada kebaikan,
menyuruh orang berbuat yang
ma’ruf dan melarang perbuatan
mengkar. Mereka inilah orang
yang beruntung”.
3. Bentuk isim fi’il amr, seperti
pada QS [5] : 105 :
“Hai orang-orang yang beriman,
jagalah dirimu; tiadalah orang
yang sesat itu akan memberi
mudharat kepadamu apabila
kamu telah mendapat petunjuk”.
4. Masdar pengganti fi’il, seperti
pada QS [2] : 83 :
“Dan ingatlah ketika Kami
menerima ikrar dari Bani Israil :
tidak akan menyembah selain
Allah, berbuat baik kepada
orangtua dan kerabat, kepada
anak yatim dan orang miskin
dan berbudi bahasa kepada
semua orang; dirikanlah shalat
dan tunaikan zakat. Tetapi
kemudian kamu berbalik, kecuali
sebagian kecil diantara kamu
dan kamu (masih juga)
menentang”.
5. Kalimat berita yang
mengandung arti perintah atau
permintaan, seperti pada QS [2] :
228 :
“Perempuan-perempuan yang
dicerai harus menunggu tigak
kali quru’ “.
6. Kalimat yang mengandung
kata amar, fardhu, kutiba, ‘ala
yang berarti perintah.
Kategori amr :
1. Amr menunjukkan wajib,
seperti pada QS [4] : 77 :
“Dirikanlah shalat dan
keluarkanlah zakat”.
Ayat tersebut menunjukkan
shalat adalah wajib dan yang
meninggalkannya adalah dosa.
2. Amr menunjukkan sunah,
seperti pada QS [24] : 33 :
“Buatlah perjanjian yang
demikian, jika kamu ketahui
mereka baik”.
Ayat ini menunjukkan perintah
tanpa kewajiban, tetapi baik
sekali bila dikerjakan.
3. Amr tidak menghendaki
pengulangan pelaksanaan,
seperti pada QS [2] : 196 :
“Dan sempurnakanlah ibadah
haji dan umrah karena Allah”.
Ayat ini mengandung
pengertian bahwa mengerjakan
haji dan umrah itu diwajibkan
satu kali saja seumur hidup.
4. Amr menghendaki
pengulangan, seperti pada QS
[5] : 6 :
“Dan bila kamu sedang dalam
keadaan junub maka bersihkan
dengan mandi penuh”.
5. Amr tidak menghendaki
kesegeraan, seperti pada QS [2] :
184 :
“Jika diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan,
maka (berpuasalah) sebanyak
hari yang ditinggalkan pada
hari-hari yang lain”.
6. Amr menghendaki
kesegeraan, seperti pada QS [2] :
148 :
“Masing-masing mempunyai
tujuan, ke sanalah Ia
mengarahkannya; maka
berlombalah kamu dalam
mengejar kebaikan”.
7. Perintah yang datang setelah
larangan bermakna mubah,
seperti pada QS [5] : 2 :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu langgar
lambang-lambang Allah. Tetapi
bila kamu selesai menunaikan
ibadah haji, berburulah”.
B. Nahi (larangan)
Nahi berarti larangan atau
cegahan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah
kedudukannya, yaitu dari Allah
kepada manusia.
Hukum lafazh nahi :
1. Asal dalam larangan adalah
menunjukkan haram.
2. Makna haram bisa berpindah
ke makna lain apabila ada
petunjuk (qarinah) yang
menghendaki peralihan ke
makna lain tersebut, baik
qarinahnya itu berupa tuntutan
makna yang dapat dipahami
dari susunan bahasanya,
maupundari nash lain yang
menunjukkan tuntutan
terhadap perpalingan makna itu.
3. Lafazh nahi menghendaki
larangan secara kekal dan
spontan. Sebab yang dilarang
itu tidak terwujud kecuali
apabila larangan itu bersifat
kekal. Para ahli ushul
menyebutkan : “Menurut
asalnya nahi yang mutlak itu
menuntut kesinambungan
untuk semua masa.”
Bentuk-bentuk Nahi :
1. Fi’il nahi, seperti pada QS [17] :
31-34 :
“Janganlah kamu bunuh anak-
anakmu karena takut
kekurangan… Dan jangalah
kamu mendekati perbuatan
zina; sungguh itu perbuatan keji
dan jalan yang buruk. Dan
janganlah kamu menghilangkan
nyawa yang diharamkan oleh
Allah, kecuali demi kebenaran…
Janganlah kamu dekati harta
anak yatim, kecuali untuk
memperbaikinya, sampai ia
mencapai umur dewasa”.
2. Menggunakan lafazh utruk
(biarkanlah), seperti pada QS
[44] : 24 :
“Dan biarkanlah laut terbelah,
sebab mereka tentara yang
akan ditenggelamkan”.
3. Menggunakan lafazh
da’ (tinggalkanlah), seperti pada
QS [33] : 48 :
“Dan janganlah kau turuti
orang-orang kafir dan kaum
munafik, tinggalkanlah
(janganlah kau hiraukan)
gangguan mereka; tetapi
tawakallah kepada Allah; sebab
cukuplah Allah sebagai
pelindung”.
4. Menggunakah lafazh naha
(dilarang), seperti pada QS [59] :
7 :
“Apa yang diberikan Rasul
kepadamu terimalah, dan apa
yang dilarang tinggalkanlah.
Bertaqwalah kepada Allah; Allah
sangat keras dalam
menjatuhkan hukuman”.
5. Menggunakan lafazh harrama
(diharamkan), seperti pada QS
[7] : 33 :
“Katakanlah, Tuhanku
mengharamkan segala
perbuatan keji, yang terbuka
atau tersembunyi, dosa dan
pelanggaran hak orang tanpa
alasan; mempersekutukan Allah,
padahal Ia tak memberi
kekuasaan untuk itu, dan
berkata tentang Allah yang
tidak kamu ketahui”.
Ragam pemakaian nahi beserta
makna dan tujuannya :
1. Larangan yang menunjukkan
haram, seperti pada QS [17] : 32
“Dan janganlah kamu mendekati
zina”.
2. Larangan yang menunjukkan
makruh, seperti pada HR
Tirmidzi :
“Janganlah kamu shalat
dikandang unta” (HR Tirmidzi).
3. Larangan yang mengandung
perintah melakukan yang
sebaliknya, seperti pada QS
[31] : 13 :
“Ingatlah ketika Luqman berkata
kepada putranya sambil ia
memberi pelajaran, “Hai anakku !
Janganlah menyekutukan Allah;
menyekutukan Allah sungguh
suatu kedzaliman yang besar”.
4. Nahi bermakna doa, seperti
pada QS [2] : 286 :
“Ya Tuhan kami, janganlah
menghukum kami jika kami lupa
atau melakukan kesalahan; Ya
Tuhan kami, janganlah
memikulkan kepada kami suatu
beban berat seperti yang
Engkau bebankan kepada orang
yang sebelum kami; Ya Tuhan
kami, janganlah memikulkan
kepada kami beban yang tak
mampu kami pikul”.
5. Nahi bermakna bimbingan,
seperti pada QS [5] : 101 :
“Hai orang yang beriman!
Janganlah tanyakan sesuatu,
yang bila diterangkan
menyusahkan kamu”.
6. Nahi menegaskan
keputusasaan, seperti pada QS
[66] : 7 :
“Hai orang-orang kafir!
Janganlah kamu berdalih hari
ini! Balasan yang akan kamu
peroleh hanyalah atas apa yang
kamu kerjakan”.
7. Nahi untuk menenteramkan,
seperti pada QS [9] : 40 :
“Jangan sedih, Allah beserta
kita”.