Rabu, 21 Desember 2011

KAHDAH AMR (perintah) - NAHI (larangan)

XV. Kaidah Amr (perintah) –
Nahi (larangan)
Amr (perintah)
Amr berarti perintah atau
suruhan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah
kedudukannya, yaitu dari Allah
kepada manusia.
Hukum lafazh amr :
1. Asal dari suatu perintah itu
adalah menunjukkan wajib.
2. Makna wajib bisa berpaling
dari makna wajib ke makna lain,
apabila terdapat petunjuk
(qarinah) yang menghendaki
makna lain tersebut, baik
qarinah tersebut berupa
susunan bahasa atau tuntutan
maknanya secara keseluruhan
maupun karena nash lain yang
menuntut perpalingan makna.
3. Asal dari suatu perintah tidak
menuntut adanya pengulangan,
kecuali bila terdapat dalil yang
menunjukkan kebalikannya.
Misalnya QS Al-Maidah [5] : 6 :
“Dan jika kamu junub, maka
mandilah.” Perintah mandi
berlaku berulang bila
penyebabnya yaitu “junub”
berulang.
Bentuk – bentuk amr :
1. Menggunakan kata kerja
perintah (fi’il amr), seperti pada
QS [4] : 4 :
“Dan berikanlah kepada
perempuan (Dalam perkawinan)
mas kawinnya dengan ikhlas;
tetapi jika dengan senang hati
mereka memberikan sebagian
darinya kepadamu, terimalah
dan nikmatilah pemberiannya
dengan senang hati”.
2. Menggunakan fi’il mudhari’
dengan didahului lamul-amr,
seperti dalam QS [3] : 104 :
“Hendaklah diantara kamu ada
segolongan orang yang
mengajak kepada kebaikan,
menyuruh orang berbuat yang
ma’ruf dan melarang perbuatan
mengkar. Mereka inilah orang
yang beruntung”.
3. Bentuk isim fi’il amr, seperti
pada QS [5] : 105 :
“Hai orang-orang yang beriman,
jagalah dirimu; tiadalah orang
yang sesat itu akan memberi
mudharat kepadamu apabila
kamu telah mendapat petunjuk”.
4. Masdar pengganti fi’il, seperti
pada QS [2] : 83 :
“Dan ingatlah ketika Kami
menerima ikrar dari Bani Israil :
tidak akan menyembah selain
Allah, berbuat baik kepada
orangtua dan kerabat, kepada
anak yatim dan orang miskin
dan berbudi bahasa kepada
semua orang; dirikanlah shalat
dan tunaikan zakat. Tetapi
kemudian kamu berbalik, kecuali
sebagian kecil diantara kamu
dan kamu (masih juga)
menentang”.
5. Kalimat berita yang
mengandung arti perintah atau
permintaan, seperti pada QS [2] :
228 :
“Perempuan-perempuan yang
dicerai harus menunggu tigak
kali quru’ “.
6. Kalimat yang mengandung
kata amar, fardhu, kutiba, ‘ala
yang berarti perintah.
Kategori amr :
1. Amr menunjukkan wajib,
seperti pada QS [4] : 77 :
“Dirikanlah shalat dan
keluarkanlah zakat”.
Ayat tersebut menunjukkan
shalat adalah wajib dan yang
meninggalkannya adalah dosa.
2. Amr menunjukkan sunah,
seperti pada QS [24] : 33 :
“Buatlah perjanjian yang
demikian, jika kamu ketahui
mereka baik”.
Ayat ini menunjukkan perintah
tanpa kewajiban, tetapi baik
sekali bila dikerjakan.
3. Amr tidak menghendaki
pengulangan pelaksanaan,
seperti pada QS [2] : 196 :
“Dan sempurnakanlah ibadah
haji dan umrah karena Allah”.
Ayat ini mengandung
pengertian bahwa mengerjakan
haji dan umrah itu diwajibkan
satu kali saja seumur hidup.
4. Amr menghendaki
pengulangan, seperti pada QS
[5] : 6 :
“Dan bila kamu sedang dalam
keadaan junub maka bersihkan
dengan mandi penuh”.
5. Amr tidak menghendaki
kesegeraan, seperti pada QS [2] :
184 :
“Jika diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan,
maka (berpuasalah) sebanyak
hari yang ditinggalkan pada
hari-hari yang lain”.
6. Amr menghendaki
kesegeraan, seperti pada QS [2] :
148 :
“Masing-masing mempunyai
tujuan, ke sanalah Ia
mengarahkannya; maka
berlombalah kamu dalam
mengejar kebaikan”.
7. Perintah yang datang setelah
larangan bermakna mubah,
seperti pada QS [5] : 2 :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu langgar
lambang-lambang Allah. Tetapi
bila kamu selesai menunaikan
ibadah haji, berburulah”.
B. Nahi (larangan)
Nahi berarti larangan atau
cegahan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah
kedudukannya, yaitu dari Allah
kepada manusia.
Hukum lafazh nahi :
1. Asal dalam larangan adalah
menunjukkan haram.
2. Makna haram bisa berpindah
ke makna lain apabila ada
petunjuk (qarinah) yang
menghendaki peralihan ke
makna lain tersebut, baik
qarinahnya itu berupa tuntutan
makna yang dapat dipahami
dari susunan bahasanya,
maupundari nash lain yang
menunjukkan tuntutan
terhadap perpalingan makna itu.
3. Lafazh nahi menghendaki
larangan secara kekal dan
spontan. Sebab yang dilarang
itu tidak terwujud kecuali
apabila larangan itu bersifat
kekal. Para ahli ushul
menyebutkan : “Menurut
asalnya nahi yang mutlak itu
menuntut kesinambungan
untuk semua masa.”
Bentuk-bentuk Nahi :
1. Fi’il nahi, seperti pada QS [17] :
31-34 :
“Janganlah kamu bunuh anak-
anakmu karena takut
kekurangan… Dan jangalah
kamu mendekati perbuatan
zina; sungguh itu perbuatan keji
dan jalan yang buruk. Dan
janganlah kamu menghilangkan
nyawa yang diharamkan oleh
Allah, kecuali demi kebenaran…
Janganlah kamu dekati harta
anak yatim, kecuali untuk
memperbaikinya, sampai ia
mencapai umur dewasa”.
2. Menggunakan lafazh utruk
(biarkanlah), seperti pada QS
[44] : 24 :
“Dan biarkanlah laut terbelah,
sebab mereka tentara yang
akan ditenggelamkan”.
3. Menggunakan lafazh
da’ (tinggalkanlah), seperti pada
QS [33] : 48 :
“Dan janganlah kau turuti
orang-orang kafir dan kaum
munafik, tinggalkanlah
(janganlah kau hiraukan)
gangguan mereka; tetapi
tawakallah kepada Allah; sebab
cukuplah Allah sebagai
pelindung”.
4. Menggunakah lafazh naha
(dilarang), seperti pada QS [59] :
7 :
“Apa yang diberikan Rasul
kepadamu terimalah, dan apa
yang dilarang tinggalkanlah.
Bertaqwalah kepada Allah; Allah
sangat keras dalam
menjatuhkan hukuman”.
5. Menggunakan lafazh harrama
(diharamkan), seperti pada QS
[7] : 33 :
“Katakanlah, Tuhanku
mengharamkan segala
perbuatan keji, yang terbuka
atau tersembunyi, dosa dan
pelanggaran hak orang tanpa
alasan; mempersekutukan Allah,
padahal Ia tak memberi
kekuasaan untuk itu, dan
berkata tentang Allah yang
tidak kamu ketahui”.
Ragam pemakaian nahi beserta
makna dan tujuannya :
1. Larangan yang menunjukkan
haram, seperti pada QS [17] : 32
“Dan janganlah kamu mendekati
zina”.
2. Larangan yang menunjukkan
makruh, seperti pada HR
Tirmidzi :
“Janganlah kamu shalat
dikandang unta” (HR Tirmidzi).
3. Larangan yang mengandung
perintah melakukan yang
sebaliknya, seperti pada QS
[31] : 13 :
“Ingatlah ketika Luqman berkata
kepada putranya sambil ia
memberi pelajaran, “Hai anakku !
Janganlah menyekutukan Allah;
menyekutukan Allah sungguh
suatu kedzaliman yang besar”.
4. Nahi bermakna doa, seperti
pada QS [2] : 286 :
“Ya Tuhan kami, janganlah
menghukum kami jika kami lupa
atau melakukan kesalahan; Ya
Tuhan kami, janganlah
memikulkan kepada kami suatu
beban berat seperti yang
Engkau bebankan kepada orang
yang sebelum kami; Ya Tuhan
kami, janganlah memikulkan
kepada kami beban yang tak
mampu kami pikul”.
5. Nahi bermakna bimbingan,
seperti pada QS [5] : 101 :
“Hai orang yang beriman!
Janganlah tanyakan sesuatu,
yang bila diterangkan
menyusahkan kamu”.
6. Nahi menegaskan
keputusasaan, seperti pada QS
[66] : 7 :
“Hai orang-orang kafir!
Janganlah kamu berdalih hari
ini! Balasan yang akan kamu
peroleh hanyalah atas apa yang
kamu kerjakan”.
7. Nahi untuk menenteramkan,
seperti pada QS [9] : 40 :
“Jangan sedih, Allah beserta
kita”.

MUHKAM (jelas) - MUTASYABIH (samar)

XIV. Muhkam (jelas) –
Mutasyabih (samar)
Ayat Al-Qur’an yang muhkam
artinya : jelas dan mudah
diketahui maknanya. Sedangkan
ayat Al-Qur’an yang mutasyabih
artinya : samar dan tidak mudah
diketahui maknanya.
Para ulama memberikan contoh
ayat-ayat yang muhkam dengan
ayat-ayat yang nasikh
(menghapus) dan masih berlaku
hukumnya, ayat-ayat tentang
halal-haram, akidah (rukun
iman), tauhid, hudud (hukuman),
kewajiban (ibadah, rukun Islam),
janji (pahala, ampunan, surga)
dan ancaman (dosa, laknat, azab
neraka), itulah pokok-pokok
agama (ushul) karena ayat-
ayatnya muhkam (jelas dan
tidak diperselisihkan) maka
menjadi perkara yang qoth’i
(pasti).
Sedangkan contoh ayat-ayat
yang mutasyabih adalah :
1. Ayat-ayat mansukh (yang
dihapus) dan tidak diberlakukan
hukumnya atau telah dihapus
lafadznya dari mushaf.
2. Ayat-ayat yang mengandung
kata-kata yang sulit dipahami
maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid, dari Anas :
“Khalifah Umar pernah
membaca ayat, “wafakihatan
wa abban … Dan buah-buahan
dan rumput-rumputan” (QS
Abasa [80] : 31), lalu ia berkata :
“Kalau buah-buahan ini kami
telah mengetahui, tetapi apakah
yang dimaksud “al-ab” ?”,
kemudian Umar berkata kepada
dirinya sendiri : “Hai Umar,
sesungguhnya apa yang kamu
lakukan itu benar-benar suatu
perbuatan memaksakan diri”.
Riwayat lain dari Muhammad
bin Sa’d dari Anas : “Umar
berkata kepada dirinya sendiri :
”Ini hal yang dipaksakan, tiada
dosa bagimu bila tidak
mengetahui””.
3. Ayat-ayat tentang Asma’ Allah
dan sifat-sifatNya yang
menyerupai sifat mahkluk,
contoh : Allah Maha Melihat,
Maha Mendengar, Maha
Mengetahui, Maha Berfirman
(Kalam), Maha Hidup, dsb.
4. Ayat-ayat tentang perbuatan
Allah yang menyerupai
perbuatan mahkluk, contoh :
Allah “bersemayam” diatas Arsy,
Allah “turun” ke langit dunia,
Allah “melempar”, dan “datang”
lah Tuhanmu, dsb
5. Ayat-ayat tentang anggota
tubuh Allah, contoh : Segala
sesuatu pasti binasa kecuali
“wajahNya”, “tangan” Allah
diatas tangan mereka, dsb
6. Hakikat sebenarnya tentang
ayat-ayat metafisika (ruh, alam
jin, alam malaikat, alam kubur,
surga-neraka, akhirat).
7. Huruf-huruf hijaiyah pada
awal surat (huruf muqatta’ah).
Menurut Ibnu Abbas, tafsir ayat
Al-Qur’an itu ada empat macam :
1. Tafsir yang dipahami oleh
orang-orang Arab karena
kelaziman bahasanya.
2. Tafsir yang harus diketahui
oleh semua orang yaitu tentang
akidah, ibadat dan halal-haram.
3. Tafsir yang hanya diketahui
oleh ulama yang mendalam
ilmunya.
4. Tafsir yang hanya diketahui
oleh Allah.
Ayat-ayat mutasyabih termasuk
dalam point ke-3 dan ke-4 yaitu
ada yang diketahui tafsirnya
oleh ulama yang mendalam
ilmunya dan ada yang hanya
diketahui tafsirnya oleh Allah
saja. Ayat-ayat mutasyabih ini
hanya sebagian kecil saja dari
seluruh Al-Qur’an, sebagian
besar ayat-ayat Al-Qur’an adalah
muhkam.
Firman Allah dalam QS Ali-Imran
[3] : 7
“Dialah yang telah menurunkan
Al-Qur’an kepadamu,
diantaranya ada ayat-ayat
muhkam yang merupakan induk
(agama) dan lainnya
mutasayabih. Adapun orang-
orang yang dalam harinya
condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti ayat-
ayat yang mutasyabih untuk
menimbulkan fitnah dan
mencari-cari ta’wilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui
ta’wilnya kecuali Allah. Dan
orang yang mendalam ilmunya
berkata : “Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabih,
semuanya itu dari sisi Tuhan
kami”.
Imam Malik pernah ditanya
tentang makna
istiwa’ (bersemayam) nya Allah
diatas ‘Arsy, maka beliau
menjawab : “maksud
istiwa’(bersemayam) telah kita
ketahui, namun mengenai
bagaimana caranya kita tidak
mengetahuinya. Iman
kepadanya adalah wajib dan
menanyakan bagaimana
caranya adalah bid’ah”.
Hikmah adanya ayat
Mutasyabih :
1. Menegaskan kemukjizatan Al-
Qur’an, yaitu dalam balagah dan
bayan.
2. Mendorong umat untuk
menuntut ilmu yang banyak dan
mendalam.
3. Merangsang penggunaan
kemampuan berpikir.
4. Menjadi ujian bagi mukmin,
apakah ada yang cenderung
mengada-ada mencari ta’wilnya
atas dasar hawa nafsu.