Selasa, 29 November 2011

tafsir surah al ikhlas

ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
ﻗُﻞْ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﺣَﺪٌ (1) ﺍﻟﻠَّﻪُ
ﺍﻟﺼَّﻤَﺪُ 2) )
ﻟَﻢْ ﻳَﻠِﺪْ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﻮﻟَﺪْ (3) ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦ
ﻟَّﻪُ ﻛُﻔُﻮًﺍ ﺃَﺣَﺪٌ 4) )
Allah berfirman.
Artinya :
“Katakanlah : “Dialah Allah, Yang
Maha Esa” [Al-Ikhlash : 1]
“Allah adalah Ilah yang
bergantung kepadaNya segala
urusan” [Al-Ikhlash : 2]
“Dia tidak beranak dan tiada
pula diperanakkan” [Al-Ikhlash :
3]
“Dan tidak ada seorang pun
yang setara dengan Dia” [Al-
Ikhlash : 4]
Sebab turunnya surat ini adalah,
ketika orang musyrik atau orang
Yahudi berkata kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam : “Beritakan kepada kami
sifat Rabb-mu!” Kemudian Allah
Ta’ala menurunkan surat ini [1]
Qul = “Katakanlah”. Pernyataan
ini ditujukan kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
umatnya. “Huwa Allahu ahad” =
“Dialah Allah Yang Maha Esa”.
Menurut ahli I’rab, huwa adalah
dhamir sya’n, dan lafdzul jalalah
Allah khabar mubtada dan
“Ahadun” khabar kedua. ‘Allahu
Ash-Shomad’ kalimat tersendiri.
“Allahu Ahadun” Yakni, Dia
adalah Allah yang selalu kamu
bicarakan dan yang selalu kamu
memohon kepada-Nya.
“Ahadun”. Yakni, Yang Maha Esa
dalam kemuliaan dan
keagungan-Nya, yang tiada
bandingan-Nya, tiada sekutu
bagi-Nya. Bahkan Dia Maha Esa
dalam kemuliaan dan
keagungan. “Allahu Ash-
Shomad” adalah kalimat
tersendiri Allah Ta’ala
menjelaskan bahwa dia Ash-
Shomad. Makna yang paling
mencakup iallah Dia mempunyai
sifat yang sempurna yang
berbeda dengan semua
mahkhluk-Nya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas
bahwa Ash-Shomad ialah yang
sempurna Keilmuan-Nya, Yang
sempurna Kesantunan-Nya,
Yang sempurna Keagungan-Nya,
Yang sempurna Kekuasaan-Nya.
Sampai akhir perkatan-Nya [2].
Ini artinya bahwa Allah Ta’ala
tidak membutuhkan makhluk
karena Dia Maha Sempurna. Dan
juga tertera dalam tafsir
bahwasanya As-Shamad ialah
yang menangani semua urusan
makhlukNy-Nya. Artinya, Bahwa
seluruh makhluk sangat
bergantung kepada Allah Ta’ala.
Jadi, arti yang paling lengkap
ialah : Dia Maha Sempurna dalam
sifat-sifat-Nya dan seluruh
makhluk sangat bergantung
kepada-Nya.
“Lam yaalid”. Bahwa Allah Azza
wa Jalla tidak mempunyai anak
karena Dia adalah Dzat Yang
Maha Muali dan Maha Agung,
tidak ada yang serupa dengan-
Nya. Seorang anak adalah
sempalan dan bagian dari orang
tuanya. Sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada Fathimah Radhiyallahu
‘anha.
“Artinya : Ia adalah bahagian
dari diriku” [3]
Allah Azza wa Jalla tidak ada
yang serupa dengan-Nya. Anak
merupakan salah satu keperluan
manusia, baik untuk memenuhi
kebutuhan dunia maupun untuk
menjaga kesinambungan
keturunan. Allah Azza wa Jalla
tidak memerlukan itu semua. Dia
juga tidak dilahirkan karena
tidak ada yang serupa dengan-
Nya dan Allah Azza wa Jalla tidak
memerlukan seorang dari
makhluk-Nya. Allah telah
mengisyaratkan bahwa mustahil
bagi-Nya mempunyai anak,
seperti dalam firman-Nya.
“Artinya : Bagaimana Dia
mempunyai anak padahal Dia
tidak mempunyai isteri ? Dia
menciptakan segala sesuatu ‘
dan Dia mengetahui segala
sesuatu” [Al-An’am : 101]
Seorang anak memerlukan orang
yang melahirkannya.
Demikianlah, Allah adalah Dzat
Yang Menciptakan segala
sesuatu. Jika Allah menciptakan
segala sesuatu bererti Dia
terpisah dari makhluk-Nya.
Dalam firman-Nya : Lam yaalid”
= “tidak beranak” merupakan
bantahan terhadap tiga
kelompok anak Adam yang
menyimpang. Mereka adalah
orang Musyrik, orang Yahudi
dan orang Nasrani. Orang
musyrik meyakini bahwa
malaikat yang mereka itu
‘Ibadur Rahman’ berjenis
perempuan. Mereka mengatakan
bahwa malaikat tersebut adalah
anak perempuan Allah. Orang
Yahudi mengatkan ‘Uzair adalah
anak Allah, dan orang Nasrani
mengatakan Al-masih adalah
anak Allah. Kemudian Allah
mengingkari mereka semua
dengan firman-Nya “Lam yaalid
wa lam yuu lad” = “Dia tiada
beranak dan tiada pula
diperanakan”, karena Allah Azza
wa Jalla adalah Dzat Yang
Pertama, tidak ada sesuatu yang
mendahului-Nya, bagaimana
mungkin dikatakan bahwa Dia
dilahirkan.
Firman Allah.
“Artinya : Dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan
Dia” [Al-Ikhlash : 4]
Yaitu tidak ada sesuatu pun
yang menyamai seluruh sifat-
sifat-Nya. Dan Allah Subhanahu
wa Ta’ala menafikan Dirinya
mempunyai ayah atau Dia
dilahirkan atau ada yang semisal
dengan-Nya.
Sureat ini mempunyai
keistimewaan yang sangat
agung. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Bahwa ia (surat Al-
Ikhlash) menyamai sepertiga Al-
Qur’an” [4]
Surat ini menyamai sepertiga Al-
Qur’an tetapi tidak dapat
menggantikan sepertiga Al-
Qur’an tersebut. Dalilnya, kalau
seorang membaca surat ini
sebanyak tiga kali di dalam
shalat, masih belum mencukupi
sebelum ia membaca surat Al-
Fatihah. Padahal jika ia
membacanya tiga kali, seolah-
olah ia membaca semua Al-
Qur’an, tetapi tidak dapat
mencukupinya. Jadi, kamu
jangan heran ada sesuatu yang
sebanding tetapi tidak
mencukupi. Misalnya sabda
Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : Barangsiapa membaca :
“Artinya : Tiada ilah yang berhak
disembah kecuali hanya Allah
yang tiada sekutu bagi-Nya,
kepunyaan-Nyalah segala
kekuasaan dan pujian, dan Dia
Maha Berkuasa atas segala
sesuatu”
Seakan-akan ia telah
membebaskan empat orang
budak dari keuturunan Isma’il
atau dari anak Ismail” [5]
Padahal jika ia berkewajiban
untuk membebaskan empat
orang hamba, dengan
mengatakan dzikir ini saja tidak
cukup untuk membebaskan
dirinya dari kewajiban
membebaskan hamba tersebut.
Oleh karena itu, sama
bandingnya sesuatu belum
tentu dapat menggantikan
posisi yang dibandingkan.
Surat ini dibaca Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
raka’at kedua shalat sunnah Fajr,
shalat sunnah Maghrib dan
shalat sunnah Thawaf [6].
Begitu juga beliau membacanya
dalam shalat witir [7], karena
surat ini merupakan landasan
keikhlasan yang sempurna
kepada Allah, inilah sebabnya
dinamai dengan surat Al-Ikhlash.
[Disalin dari kitab Tafsir Juz
‘Amma, edisi Indonesia Tafsir Juz
‘Amma, penulis Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin, penerjemah Abu Ihsan
Al-Atsari, penerbit At-Tibyan –
Solo]
________
Foot Note
[1]. Hadits riwayat Ahmad dalam
Musnad (5/133), At-Tirmidzi
dalam Kitab Tafsir, bab : Surat Al-
Ikhlash, no. (3364)
[2]. Hadits riwayat Ath-Thabrany
dalam Tafsirnya (30/346). Dan
Al-Baihaqy dalam Asma Wash
Shiafat hal. 58-59
[3]. Hadits riwayat Al-Bukhary
dalam kitab Fadhilah Para
Sahabat, bab : Budi pekerti
kerabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Fatimah
Radhiyallahu ‘anha no. (3714).
Dan Muslim dalam kitab Fadhilah
Para Sahabat, bab : Fadhilah Putri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
no (2449) (93).
[4]. Hadits riwayat Al-Bukhary
dalam Kitab Fadhilah Al-Qur’an,
bab : Fadhilah “Qul Huwa Allahu
Ahad” no. (5015) Dan Muslim
dalam kitab Shalat Para Musafir,
bab : Fadhilah membaca “Qul
Huwa Allahu Ahad”, no. (811)
(30)
[5]. Hadits riwayat Muslim dalam
kitab Dzikir, bab : Fadhilah Tahlil,
no. (2693) (30)
[6] Telah disebutkan takhrijnya.
[7]. Hadits riwayat At-Tirmidzi,
dalam Bab-bab Witir, bab :
Bacaan yang dibaca dalam shalat
witir, no. (463). Ia berkata :
“hadits ini hasan gharib”.