Selasa, 13 Desember 2011

USHUUL TAFSIR

IX. Ushul Tafsir
Ushul tafsir adalah cabang dari
ilmu ulumul Qur’an yang
membahas ilmu-ilmu dan
kaidah-kaidah yang diperlukan
dan harus diketahui untuk
menafsirkan Al-Qur’an. Ushul
tafsir ini adalah bagian dari
ulumul qur’an yang paling
penting karena sangat erat
kaitannya dengan istinbath
(penyimpulan hukum) dalam
fikih dan penetapan i’tikad
(tauhid, akidah) yang benar.
Ibnu Taimiyyah dalam
Muqaddimah fi Ushulit Tafsir
menyatakan : “Jika ada orang
bertanya : ‘Apakah jalan yang
terbaik untuk menafsirkan Al-
Qur’an, maka jawabnya :
‘Menafsirkan Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an. Apabila ebgkau tidak
mendapatkan penafsirannya
pada Al-Qur’an, maka
tafsirkanlah dengan sunnah
(hadits), karena sesungguhnya
ia memberi penjelasan terhadap
Al-Qur’an. Apabila tidak engkau
temukan tafsirnya dalam Al-
Qur’an dan tidak pula dalam
sunnah, maka merujuklah
kepada perkataan-perkataan
sahabat Nabi SAW, karena
mereka paling mengetahui
sesudah Nabi, mengingat
mereka menyaksikan (sebagian)
turunnya Al-Qur’an dan situasi
ketika ayat itu turun serta
mereka memiliki pemahaman
yang benar dari Nabi. Apabila
tidak ditemukan penafsiran
dalam Al-Qur’an dan sunnah
serta tidak ada pula penafsiran
sahabat, maka dalam hal ini para
imam merujukperkataan
tabi’in…”
A. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-
Qur’an
Metode ini berdasarkan contoh
dari Rasulullah. Ketika para
sahabat membaca firman Allah :
“Mereka yang beriman dan tidak
mencampur adukkan
keimanannya dengan kezaliman,
mereka itulah yang mendapat
kemananan dan mereka
mendapat petunjuk” (QS [6] :
82}.
Para sahabat bertanya kepada
Rasulullah : “Wahai Rasulullah,
siapakah diantara kita orang
yang tidak menzalimi dirinya
sendiri ?” Nabi menjawab :
“Tidak seperti yang kalian
sangka, kezaliman yang
dimaksud adalah syirik.
Tidakkah enkau membaca
ucapan hamba yang saleh
(Luqman) : “Sesungguhnya
kemusyrikan adalah kezaliman
yang sangat besar”. (QS Luqman
[31] : 13).
Firman Allah dalam QS Al-Fatihah
[1] : 6 :
“Tunjukilah kami jalan yang
lurus, jalan orang-orang yang
Engkau beri nikmat”
Siapakah yang dimaksud orang-
orang yang diberi nikmat ?
maka tafsirnya ada pada ayat
Al-Qur’an yang lain, yaitu QS An-
Nisa’ [4] : 69 :
“Barangsiapa yang mentaati
Allah dan Rasul (Nya), mereka
itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, yaitu : Nabi-
Nabi, para Shiddiqin, orang-
orang yang mati syahid dan
orang-orang saleh. Mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya”.
B. Tafsir Al-Qur’an dengan
sunnah (hadits)
Peran (hadits) Rasulullah
terhadap Al-Qur’an :
1. Menjelaskan bagian yang
masih global (mujmal).
2. Mengkhususkan (men-takhsis)
yang masih umum (‘amm).
3. Menjelaskan arti dan kaitan
kata-kata tertentu.
4. Memberikan ketentuan
tambahan dari aturan yang
telah ada dalam Al-Qur’an.
5. Menjelaskan nasakh
(menghapus) ayat.
6. Menegaskan hukum-hukum
yang telah ada.
Firman Allah dalam QS Al-
Baqarah [2] : 43 :
“…dan dirikanlah shalat…”
Perintah mendirikan sholat
tersebut masih kalimat global
(mujmal) yang masih butuh
penjelasan bagaimana tata cara
sholat yang dimaksud, maka
untuk menjelaskannya
Rasulullah naik keatas bukit
kemudian melakukan sholat
hingga sempurna, lalu
bersabda : “Sholatlah kalian,
sebagaimana kalian telah
melihat aku shalat” (HR
Bukhary).
C. Tafsir Al-Qur’an dengan
perkataan sahabat Nabi (Qaul
Sahabi).
Sahabat nabi adalah generasi
terbaik yang beriman dan
diridloi Allah, bertemu langsung
dengan Nabi dan ikut
menyaksikan peristiwa yang
melatarbelakangi turunnya
suatu ayat dan keterkaitan
turunnya dengan ayat yang lain.
Mereka mempunyai kedalaman
pengetahuan dari segi bahasa,
saat bahasa itu digunakan,
kejernihan pemahaman,
kebenaran manhaj, kuatnya
keyakinan, apalagi jika mereka
telah melakukan Ijma dalam
suatu penafsiran.
Firman Allah dalam QS An-Nur
[24] : 31 :
“Hendaklah mereka tidak
menampakkan kecantikannya,
kecuali apa yang boleh tampak
darinya”
Ibnu Abbas menafsirkan yang
boleh tampak itu adalah :
“wajahnya, kedua telapak
tangan dan cincin”
D. Tafsir Al-Qur’an dengan
perkataan tabi’in.
Tabi’in bertemu langsung
dengan para sahabat Nabi dan
mengambil ilmu dari mereka.
Di Mekkah berdiri perguruan
Ibnu Abbas, diantara para tabi’in
yang menjadi muridnya adalah :
Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah
maula Ibnu Abbas, Tawus bin
Kaisan Al-Yamani dan ‘Ata bin
Abi Rabah.
Di Madinah Ubay bin Ka’ab lebih
menonjol dibidang tafsir dari
sahabat Nabi yang lain, diantara
muridnya dikalangan tabi’in
adalah : Zaid bin Aslam, Abu
‘Aliyah dan Muhammad bin
Ka’ab al-Qurazi.
Di Kufah (Iraq) berdiri
perguruan Ibnu Mas’ud, yang
dipandang oleh para ulama
sebagai cikal bakal mazhab ahli
ra’y (akal). Tabi’in yang menjadi
muridnya antara lain : ‘Alqamah
bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin
Yazid, Murrah Al-Hamazani, ‘Amir
Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan
Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Sufyan Tsauri berkata : “Jika
datang padamu tafsir dari
Mujahid, cukuplah itu bagimu”.
Berkata Ibnu Taimiyah : “Syafi’i,
Bukhari dan ahli ilmu lainnya
banyak berpegang kepada
tafsirnya”.
Az-Sahabi berkata : “Umat
sepakat bahwa Mujahid adalah
tokoh terkemuka yang kata-
katanya dijadikan hujjah, dan
kepadanya Abdullah bin Kasir
belajar”.
Diantara tokoh-tokoh tabi’in
Mujahid merupakan yang paling
menonjol dan perkataannya
banyak diikuti mufasirin
sesudahnya. Tentunya harus
diseleksi sanad-sanad atsar
yang disandarkan kepada
mereka, bila sahih maka layak
untuk diikuti.
E. Israiliyyat.
Setelah beberapa ulama Yahudi
masuk Islam, seperti : Abdullah
bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb
bin Munabbih, Abdul Malik bin
Abdul ‘Azis bin Juraij; khabar
dan kisah dari kitab-kitab Bani
Israil mulai menyebar di
kalangan kamu muslimin.
Sebagian mufasirin mengutip
Israiliyyat ini kedalam kitab
tafsir mereka.
Israiliyyat ini dibagi menjadi
tiga :
1. Yang sesuai dengan syariat
Islam, maka bisa diterima.
2. Yang bertentangan dengan
syariat Islam, maka harus
ditolak.
3. Yang didiamkan, tidak
diterima dan tidak ditolak,
sebatas dijadikan wacana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar