Jumat, 25 November 2011

TAFSIR SURAH ALFATEHAH.

(Ummul Qur-an/Induk al-Quran, Ummul Kitab/Induk al-Kitab,
dan as-Sab’ul Matsani/Tujuh yang berulang-ulang)
Surah ini dinamai Al-Fatihah (artinya “Pembuka”), di antaranya karena
bacaan Al-Quran dalam salat dimulai dengan surah ini. Surah ini juga
mempunyai banyak nama lain, antara lain Ummul-Kitab, Asy-Syifa’, Al-
Waqiyah, Al-Kafiyah, Asas Al-Quran, dan sebagainya.
Bismillahir-rahmanir-rahim (Dengan nama Allah, Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang).
Para sahabat memulai membaca Al-Quran dengan ucapan ini.
Membaca bismillahir-rahmanir-rahim dianjurkan di awal setiap
pembicaraan dan pekerjaan. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW, “Setiap
perkara yang tidak dimulai dengan membaca bismillahir-rahmanir-
rahim, ia menjadi terputus,” Arti “terputus”, sedikit keberkahannya.
Membaca basmalah juga disunahkan ketika berwudhu ,
berdasarkan sabda Nabi SAW, “Tidak sempurna wudu seseorang yang
tidak menyebut nama Allah.” Menurut mazhab Syafi’I, disunahkan
membaca basmalah ketika menyembelih, sedangkan menurut mazhab
yang lain hukumnya wajib. Disunahkan pula membaca basmalah ketika
hendak makan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW, “Ucapkanlah
basmalah, makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah sesuatu yang
dekat denganmu.”
Disunahkan juga membaca basmalah ketika hendak bersetubuh,
berdasarkan sabda Nabi SAW, “Seandainya salah seorang di antara
kalian ketika hendak bersetubuh mengucapkan, “bismillah, Ya Allah,
jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari rezeki yang
Engkau berikan kepada kami (yakni anak yang akan Allah berikan)’,
seandainya ia ditakdirkan mempunyai anak dari hubungannya disaat
itu – anak itu tak akan dicelakakan oleh setan selamanya.”
Menurut Ibn Jarir, Sifat ar-rahman atau pengasih Allah adalah
untuk semua mahluk, dan ar-rahim-Nya untuk orang-orang mukmin.
Lafaz ar-rahman juga nama Allah yang khusus yang tidak boleh
digunakan oleh selain Dia (Artinya, jika hanya memakai Ar-Rahman
atau Rahman saja. Jika seseorang mempunyai nama Abdurrahman
tentu sangat bagus, karena artinya “hamba Allah yang bersifat
rahman”).
Di antara nama-nama Allah, Ada yang digunakan untuk mahluk,
ada pula yang tidak digunakan untuk mahluk, seperti lafaz Allah, Al-
Khaliq, Ar-Raziq, dll, termasuk Ar-Rahman, sebagaimana yang telah
disebutkan di atas. Sedangkan lafaz Ar-Rahim, Allah gunakan juga
untuk menggambarkan Nabi SAW, yaitu pada firman Allah Bil-
mu’miniina ra’ufunrahim (Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin). Sebagaimana allah menggambarkan manusia
dengan menggunakan sebagian namanya, yaitu pada firman-Nya
Faja’ainaahu sami’an bashira (Maka kami jadikan dia mendengar dan
melihat).”
Alhamdu lillaahi Rabbil-aalamin (Segala puji bagi Allah, Tuhan
sekalian alam).
Ibn Jarir mengatakan, pengertian alhamdulillah adalah bersyukur
kepada Allah secara tulus karena Dia telah memberikan nikmat-nikmat
yang tak terhingga kepada hamba-hamba-Nya. Juga karena Dia telah
menyehatkan anggota tubuh mukallaf (orang yang berakal dan balig)
untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya, di samping memberikan
rezeki dalam urusan dunia mereka sehingga mereka dapat merasakan
kehidupan yang menyenangkan. Karena itu, Tuhan berhak untuk dipuji
atas semua nikmat itu. Alhamdulillah merupakan suatu pujian di mana
Allah memuji dirinya yang juga mengandung perintah kepada para
hamba-Nya untuk memuji-Nya.
Di dalam hadist disebutkan, “Sebaik-baiknya zikir adalah ucapan
La ilaha illallah, dan sebaik-baiknya doa adalah ucapan Alhamdulillah.”
Dalam hadis lain, Rasulullah menyatakan, “Tidaklah Allah memberikan
nikmat kepada seorang hamba lalu hamba itu mengucap Alhamdulillah,
melainkan apa yang Dia berikan lebih utama daripada yang Dia ambil.”
Pengertian rabb adalah pemilik yang bertindak terhadap
miliknya, kemudian digunakan untuk pengertian tuan dan yang
melakukan perbaikan. Semua pengertian itu sah terdapat pada diri
Allah . Pada selain Allah, kata rabb hanya digunakan dengan dikaitkan
pada kata lainnya seperti rabbud-dar (pemilik rumah), sedangkan kata
rabb saja yang tidak diikuti kata lainnya hanya digunakan untuk Allah.
Ar-rahmanir-rahim (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Al-Qurthubi mengatakan, Allah menyifati diri-Nya dengan Ar-
rahmanir-rahim setelah firman-Nya rabbil-alamin adalah untuk
mengiringkan tarhib (pernyataan yang mengandung ancaman,
meskipun implisit) dengan targhib (pernyataan yang mengandung
kabar gembira). Di dalam kata rabb yang telah kita ketahui maknanya
di atas terkandung pengertian ancaman, karena pemilik sesuatu berhak
melakukan suatu tindakan terhadap miliknya, sedangkan ucapan ar-
rahmanir-rahim mengandung kabar gembira.
Di dalam hadis dikatakan, “Seandainya seorang mukmin
mengetahui siksa yang ada di sisi Allah, niscaya tak seorang pun yang
menginginkan surga-Nya (artinya, asal terhindar dari siksa-Nya saja
sudah merasa sangat beruntung); dan seandainya seorang kafir
mengetahui rahmat yang ada di sisi-Nya, niscaya tak seorang pun
yang berputus asa dari rahmat-Nya.”
Maaliki Yaumiddin (Yang menguasai hari kemudian)
Sebagian ahli qiraah membaca maaliki dengan maliki (ma-nya
tidak dipanjangkan). Kedua bacaan itu (baik ma-nya dibaca panjang
maupun pendek) adalah bacaan yang sahih dan mutawatir
(diriwayatkan secara sahih dari berbagai jalur yang sangat banyak).
Disebutkannya Allah sebagai yang menguasai di hari kemudian, karena
pada saat itu tak seorang pun yang mengakui memiliki sesuatu dan
tidak ada yang berbicara kecuali dengan izin-Nya.
Di dalam sebuah ayat dikatakan, “Mereka tidak berkata-kata,
kecuali yang telah diizinkan oleh Tuhan, Yang Maha Pemurah, dan ia
mengucapkan kata yang benar.” Raja yang sebenarnya adalah Allah,
sedangkan penamaan segala sesuatu selain Dia dengan kata “raja”
adalah kiasan saja. Sedangkan kata diin pada ayat ini berarti
pembalasan dan perhitungan, karena pada hari ini semua mahluk
diperhitungkan dan diberi balasan atas perbuatannya.
Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (Hanya kepada-Mu kami
beribadah atau menyembah, dan hanya kepada-Mu kami
memohon pertolongan)
Menurut syara’, ibadah adalah yang menghimpunkan cinta,
ketundukan, dan rasa takut yang sempurna. Arti ayat ini, “Kami tidak
menyembah kecuali kepada-Mu, dan Kami tidak berserah diri kecuali
kepada-Mu juga.” Inilah taat yang sempurna. Agama secara
keseluruhannya terpulang kepada dua hal ini. Yang pertama
membebaskan diri dari perbuatan syirik, sedangkan yang kedua
membebaskan diri dari pengakuan memiliki upaya dan kekuatan, serta
menyerahkannya kepada Allah SWT.
Kalimat iyyaka na’budu didahulukan daripada iyyaka nasta’in
karena beribadah kepada Allah itulah yang merupakan tujuan,
sedangkan meminta pertolongan adalah perantara untuk menuju ke
sana. Karena, pada dasarnya segala yang terpenting didahulukan,
kemudian setelah itu baru yang penting, dan seterusnya.
Ihdinash-Shiraathal-Mustaqiim (Berilah kami hidayah menuju
jalan yang lurus)
Setelah memuji Zat yang akan diminta, tepatlah jika kemudian
diikuti dengan mengajukan permintaan. Ini adalah kondisi peminta
yang sempurna, yakni ia memuji siapa yang akan diminta, setelah itu
baru meminta kebutuhannya. Cara demikian tentu akan lebih
membawa keberhasilan. Karena itulah, Allah menunjukkan hal tersebut.
Yang dimaksud hidayah di sini adalah bimbingan dan taufik.
Para mufasir dari kalangan salaf (ulama terdahulu) maupun khalaf
(ulama kini) berbeda pendapat tentang penafsiran ash-shirathal-
mustaqim sekalipun semuanya terpulang kepada satu poin yang sama,
yaitu mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Ada riwayat yang menyebutkan,
ash-shirathal-mustaqiim artinya Kitabullah. Ada pula riwayat yang
menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah agama islam.
Ibn Abbas mengatakan, yang dimaksud adalah agama Allah
yang tidak ada kebengkokan di dalamnya. Sedangkan Ibn Al-Hanafiyah
menyebutkan, yang dimaksud adalah agama Allah di mana agama
lainnya yang dipeluk oleh seorang hamba tidak akan diterima. Mujahid
memberikan keterangan yang lain lagi. Ia mengatakan, ash-shiraahal-
Mustaqiim adalah kebenaran. Pengertian ini mempunyai cakupan yang
lebih luas dan tidak bertentangan dengan pendapat-pendapat yang
disebutkan tadi.
Jika ada yang bertanya, mengapa seorang mukmin meminta
hidayah di setiap waktu salat padalah hal itu telah ia miliki,
jawabannya sebagai berikut:
Seorang hamba setiap saat dan di setiap keadaan butuh agar
Allah menetapkan dan menguatkan hidayah yang telah dimilikinya.
Maka Allah memberikan petunjuk kepada hamba-Nya agar ia meminta
kepada-Nya di setiap waktu agar memberikannya pertolongan,
ketetapan (kemantapan), dan taufik.
Shiraathal-ladzina an’amta ‘alaihim ghairil-maghduubi ‘alahim
waladh-dhaallin. (Yaitu, jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula
jalan mereka yang sesat)
Kalimat shiraathal-ladziina an’amta ‘alaihim menjelaskan ash-
shiraathal-mustaqiim. Mereka yang telah diberi nikmat adalah yang
disebutkan dalam surah An-nisa’, yang artinya, “Dan barang siapa yang
menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para
shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan
mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
Ibn Abbas menjelaskan, mereka adalah para malaikat, para nabi,
shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. Rabi’ bin Anas mengatakan,
mereka adalah para nabi, sedangkan Ibn Juraij dan Mujahid
berpendapat, mereka adalah orang-orang mukmin. Penafsiran Ibn
Abbas tampak lebih umum dan lebih luas cakupannya..
Pengertian orang-orang yang dimurkai adalah orang –orang
yang mengetahui kebenaran tetapi berpaling darinya, sedangkan
orang-orang yang sesat adalah yang tidak memiliki pengetahuan
sehingga mereka berada dalam kesesatan, tidak mendapatkan
petunjuk menuju kebenaran. Pengingkaran pertama (bukan jalan
orang-orang yang dimurkai) diikuti dengan pengingkaran kedua (dan
bukan pula jalan orang-orang yang sesat) menunjukan, ada dua jalan
yang rusak, yaitu jalan orang-orang Yahudi dan jalan orang-orang
Nasrani.
Selain untuk menguatkan pengingkaran, juga untuk
membedakan dua jalan yang rusak itu agar kedua-duanya dihindari,
karena jalan orang-orang yang beriman mencakup dua hal sekaligus:
mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Orang-orang Yahudi
mengetahui tapi tidak mengamalkannya, sedangkan orang-orang
Nasrani tidak memiliki pengetahuan tentang itu tapi mengamalkannya.
Karena itu, orang Yahudi dimurkai dan orang Nasrani berada dalam
kesesatan. Hadis-hadis banyak yang menjelaskan hal itu. Di antaranya
yang diriwayatkan dari ‘Adiy bin Hatim, ia mengatakan, “Aku bertanya
kepada Rasulullah SAW tentang firman Allah ghairil-maghdhuubi
‘alaihim, beliau menjawab, ‘Mereka orang-orang Yahudi,’ sedangkan
waladh-dhaalliin, kata beliau, ‘Mereka orang-orang Nasrani,”
Bagi orang yang membaca surah Al-Fatihah, disunahkan
sesudahnya mengucapkan amiin, yang artinya, “Kabulkanlah
permintaan kami, Ya Allah,” Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan
dari Abu Hurairah, ia mengatakan, “Rasulullah SAW, apabila membaca
ghairil-maghdhubi ‘alaihim, sesudahnya mengucapkan amiin, sehingga
dapat didengar oleh orang yang berada di saf pertama di belakang
beliau.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar