Kamis, 15 Desember 2011

KAIDAH KALIMAT UMUM DGN SEBAB KHUSUS

XII. Kaidah Kalimat Umum
Dengan Sebab Khusus
Dikalangan umat Islam
berkembang klaim universalitas
dan supremasi Islam yang
berlaku melampaui dimensi
ruang dan waktu, dengan Al-
Qur’an sebagai sumber
pedoman. Al-Qur’an tidak turun
dalam satu masyarakat yang
hampa budaya. Dari sekian
banyak ayat-ayatnya, para
ulama menyatakan harus
dipahami dalam konteks
asbabun nuzulnya, karena ayat
tersebut berinteraksi dengan
kenyataan yang ada dan
kenyataan tersebut mendahului
atau paling tidak bersamaan
dengan turunnya ayat.
Dalam kaitannya dengan
asbabun nuzul, sebagian besar
ulama berpegang pada kaidah
“al ‘ibrahu bi ‘umumil lafzh la
bikhususin asbab” (yang
menjadi pegangan adalah
keumuman lafazh bukan pada
kekhususan sebab), sedangkan
sebagian kecil berpegang pada
kaidah kebalikannya, yaitu al
‘ibratu bikhususus sabab la bi
‘umumil lafzh: (yang menjadi
pegangan adalah kekhususan
sebab bukan pada keumuman
lafazh).
Apabila dijumpai ayat-ayat Al-
Qur’an berkaitan dengan suatu
hukum, yang konteks
pembicaraannya bersifat
khusus terhadap kasus tertentu,
sedangkan teksnya bersifat
umum, maka ketentuan itu tidak
hanya terbatas pada kasus
tersebut, tetapi berlaku umum
pada setiap kasus yang
mempunyai persamaan dengan
kasus khusus tersebut. Inilah
maksud kaidah “yang menjadi
pegangan adalah keumuman
lafazh bukan pada kekhususan
sebab”.
Dalam memahami kaidah diatas,
pendukung kaidah ini
berpandangan bahwa asbabun
nuzul pada hakikatnya hanyalah
salah satu sarana bantu yang
menampilkan contoh untuk
menjelaskan makna redaksi ayat
Al-Qur’an. Sedangkan redaksi
yang bersifat umum itu ruang
lingkupnya tidak terbatas pada
kasus khusus yang
melatarbelakangi turunnya ayat.
Pemahaman semacam ini
didasarkan atas kenyataan
bahwa Al-Qur’an diturunkan
untuk menjadi petunjuk bagi
setiap generasi, sejak masa
turunnya sampai dengan hari
kiamat, dalam setiap tempat dan
situasi.
Pendapat kaidah ini dipandang
rajih (lebih kuat) dan lebih tepat,
sesuai dengan umumnya
hukum-hukumsyariat dan telah
diberlakukan oleh para sahabat
dan imam mujtahid. Demikian
pendapat Ibnu Taimiyah.
Contoh penerapan kaidah
tersebut dalam memahami ayat
yang memiliki asbabun nuzul
tertentu, dalam hal ini QS An-nur
[24] : 6, adalah sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang
melemparkan tuduhan kepada
istri-istri mereka, sedang mereka
tak punya saksi selain diri
mereka sendiri, maka kesaksian
orang itu empat kali sumpah
(dengan sekali bersumpah) demi
Allah, bahwa sungguh dia
berkata benar.”
Ayat ini turun berkaitan dengan
tuduhan yang dilemparkan Hilal
Ibnu Umayyah kepada istrinya,
akan tetapi sebagai mana
terlihat, bunyi ayat ini bersifat
umum. Menurut penganut
kaidah “keumuman lafazh
bukan ke khususan sebab”
dengan demikian ketentuan
hukumnya tidak hanya berlaku
bagi Hilal saja, tetapi juga
berlaku bagi semua orang yang
menuduh istrinya berbuat zina
tanpa saksi.
Adapun penganut kaidah
“kekhususan sebab bukan
keumuman lafazh” lebih
menekankan perlunya analogi
(qiyas) untuk menarik makna
dari ayat-ayat yang memiliki
latar belakang turunnya ayat
(asbabun nuzul)itu, jika qiyas
tersebut memenuhi syarat-
syaratnya.
Allah berfirman dalam QS Al-
Maidah [5] : 38-39 :
“Adapun mengenai pencuri, laki-
laki dan perempuan, potonglah
tangannya sebagai hukuman
atas perbuatannya, sebagai
pelajaran dari Allah. Allah Maha
Perkasa, Maha Bijaksana. Tetapi
barang siapa bertobat setelah
berbuat jahat dan memperbaiki
diri, maka Allah akan menerima
tobatnya, Allah Maha
Pengampun, Maha Pengasih.”
Asbabun nuzul turunnya ayat
tersebut, menurut riwayat
Ahmad dan lain-lain yang
bersumber dari Abdullah bin
Umar, bahwa seorang wanita
mencuri di zaman Rasulullah,
kemudian dipotong tangannya
yang kanan. Wanita tersebut
bertanya, “Apakah diterima
tobatku, ya Rasulullah ?” Maka
Allah menurunkan ayat
berikutnya QS [5] : 39 yang
menegaskan bahwa tobat
seseorang akan diterima Allah
apabila ia memperbaiki diri dan
berbuat baik.
Bila saklek berpegang pada
kaidah “keumuman lafazh
bukan pada ke khususan
sebab”maka akan ada
kecenderungan memahami ayat
tersebut secara tekstual, bahwa
ketetapan hukum potong
tangan bagi seorang pencuri itu
berlaku umum disegala situasi
dan tempat, dengan
mengabaikan konteks situasi
sosial yang menjadi latar
belakang turunnya ayat
tersebut, sehingga relevansi
ketetapan hukum kurang
mendapat perhatian. Padahal
perubahan waktu dan situasi
yang meliputi meniscayakan
perubahan hukum. Ketika ayat
tersebut tidak diterapkan dalam
suatu masyarakat, seperti
ijtihad Umar bin Khattab pada
masanya, tidak memotong
tangan pencuri dimasa paceklik,
apakah lantas dipahami bahwa
Umar bin Khattab telah
meninggalkan ayat tersebut,
atau ayat disesuaikan dengan
situasi kondisi ?
Cara pandang ekstrim demikian
akan muncul bila asbabun nuzul
dipahami sebatas peristiwa dan
pelakunya. Apabila ia dipahami
secara komprehenship, meliputi
waktu, tempat, situasi dan
kondisi sosial-budaya yang
melatarbelakangi turunnya ayat,
kemudian dicoba dicari tujuan-
tujuan syariah dan mashlahah
mursalah yang menjadi ruh ayat
tersebut, maka akan dapat
melahirkan perkembangan
dalam penafsiran yang lebih
tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar